korupsi

Majalahnabawi.com – Istidraj sudah banyak terjadi dari zaman dahulu pada para kaum di zaman kenabian. Dan  al-Qur’an sudah banyak menjelaskan mengenai istidraj yang Allah berikan kepada mereka. Orang-orang yang Allah beri kenikmatan dunia, namun berfoya-foya dalam hal yang melalaikan, sehingga senantiasa berbuat maksiat, dan pada akhirnya mendapat siksa yang mencengangkan dari Allah Swt.

Pengertian Istidraj

Pengertian Istidraj sendiri secara bahasa yaitu “Daraja” yang berarti naik satu tingkatan ke tingkat berikutnya. Dan secara istilah dapat berarti pengunduran azab oleh Allah dengan terlebih dahulu memberikan seseorang itu kenikmatan. Sehingga ia lalai dalam melaksanakan perintah Allah Swt.

Sebagaimana dalam sabda Nabi Saw. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir r.a, Rasulullah Saw. bersabda:

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَالِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ

Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad)

Ciri-ciri Istidraj

Adapun ciri-ciri istidraj di antaranya ialah:

  1. Harta berlimpah, padahal tak pernah sedekah. 

Melimpahnya harta seseorang padahal ia jarang atau bahkan tidak pernah bersedekah, maka kita perlu waspada terjadinya istidraj. Allah memberikan kenikmatan yang berujung pada kesengsaraan karena ia lalai dalam melaksanakan perintah Allah, seperti membagikan sedikit hartanya kepada orang yang membutuhkan.

2. Jarang Allah mengujinya sakit, padahal dosa-dosa menggunung.

Seseorang yang Allah beri nikmat sehat afiat pada hakikatnya merupakan sebuah kenikmatan yang luar biasa karena dengan sehatnya ia dapat beribadah kepada Allah dengan baik dan benar. Namun berbeda dengan orang yang Allah beri Istidraj, ia memanfaatkan kesehatannya untuk hal-hal yang sia-sia bahkan untuk hal yang menimbulkan murka Allah.

3. Karir terus menanjak, padahal banyak hak orang yang ia injak-injak.

Dengan usaha yang semakin memuaskan hasil, seseorang bisa sombong atas apa yang telah ia raih. Tak peduli dahulu karena apa usahanya sukses, apakah dengan cara yang halal, atau justru haram. Seperti menganiaya orang lain atau mengambil haknya untuk mencapai kesuksesan yang ia mimpikan.

Dan masih banyak lagi contoh istidraj yang siapa sangka sering terjadi di sekitar kita, bahkan secara tak sadar bisa jadi hal tersebut menimpa pada diri kita. Na’udzubillahi min dzalik.

Kerugian ketika Tertimpa Istidraj

Allah Swt. berfirman:

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

Artinya: “Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa.” (Q.S. Al-An’am[6]: 44)

Dari dalil nash di atas, sangat memperingatkan kita bahwa betapa ruginya orang yang tertimpa istidraj. Ia sudah tertipu dengan kenikmatan dunia yang fana, sehingga mengabaikan kewajiban dan tak hentinya berbuat maksiat kepada Allah. Maka dari itu hendaklah kita menjadi orang yang selalu waspada akan azab Allah Swt., dan berlindung kepada-Nya dari segala perbuatan yang Allah memurkainya.

Kisah Pemilik Kebun yang Allah beri Nikmat yang Sebenarnya Adalah Istidraj

Disebutkan dalam surat Al-Qalam kisah pemilik kebun berikut ini;

إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19) فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ (20) فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ (21) أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ (22) فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ (23) أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ (24) وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ (25) فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ (26) بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ (27) قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ (28) قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (29) فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ (30) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ (31) عَسَى رَبُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ (32) كَذَلِكَ الْعَذَابُ وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (33)

Sesungguhnya Kami telah mencoba mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencoba pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin), lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. lalu mereka panggil memanggil di pagi hari: “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik.

“Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya). Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu).

Mereka mengucapkan: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Lalu sebagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela mencela. Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas.” Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita. Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. (QS. Al-Qalam: 17-33).

Penjelasan Syekh As-Sa’di

Syekh As-Sa’di menerangkan, “Kisah di atas menunjukkan bagaimanakah akhir keadaan orang-orang yang mendustakan kebaikan. Mereka telah Allah beri harta, anak, umur yang panjang serta berbagai nikmat yang mereka inginkan. Semua itu Allah berikan bukan karena mereka memang mulia. Namun Allah berikan sebagai bentuk istidraj tanpa mereka sadari.“ (Tafsir As-Sa’di, hal. 928)

Bagaimana Cara Agar Dapat Terhindar dari Istidraj?

Segala hal yang bersifat ibadah dan baik di mata Allah, maka hal itu bisa kita lakukan agar dapat terlindung dari istidraj. Di antaranya yakni sebagai berikut:

  1. Sadar akan karunia yang Allah berikan semata-mata hanyalah sebagai titipan dari Allah Swt. yang nanti akan kita pertangggungjawabkan di akhirat kelak.

2. Rajin melaksanakan ibadah dan berdzikir kepadanya

3. Selalu memohon ampun (beristighfar) kepada Allah

4. Berdoa agar senantiasa Allah memberi rezeki yang berkah 

5. Bergaul dengan orang yang sholeh

6. Sering mendengarkan nasihat para ulama 

Itulah beberapa cara agar Allah menjauhkan kita dari istidraj. Janganlah sekali-kali kita silau dengan kemegahan dan kesuksesan lahir seseorang. Bersyukurlah jika kita sudah beramal sholeh, namun Allah masih memberikan ujian atau cobaan, karena niscaya hal itulah yang menjadi tanda kasih sayang Allah berupa keringanan dosa dan menuju ampunan-Nya.

Waspadailah segala hal yang kita miliki, apakah sudah membawa kita pada ketaatan atau justru menjerumuskan kita pada kemaksiatan. Serahkan semuanya kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Janganlah kita merajakan harta dan kenikmatan yang ada, sehingga melalaikan kita pada perintah-Nya. Semoga Allah melindungi kita semua dari bahayanya istidraj.