Kontroversi Pemikiran Joseph Schacht Terhadap Autentisitas Hadis
Islamic books on a shelf, Morocco, Tetuan

Majalahnabawi.com Apakah seluruh perbuatan Nabi Muhammad SAW itu bagian dari Agama? Sebagaimana kita tahu bahwa Nabi juga manusia seperti kita. Banyak hal yang sifatnya mubah yang Nabi lakukan. Seperti makan, minum, berdiri, tidur dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, mari simak tulisan ini.

Jadi jika perbuatan Nabi bukan dalam konteks suatu ibadah, maka itu berarah kepada sesuatu yang mubah. Seperti makan, minum, duduk dan berdiri. Dan itu merupakan hak bagi Nabi, dan hak juga bagi kita. Makanya, perbuatan Nabi itu adakalanya berbentuk wajib, sunnah, dan mubah. Nabi tidak pernah melakukan yang makruh apalagi yang haram. Dan bahkan, sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi tidak pernah melakukan suatu perkara yang hukumnya Khilaful Aula.

Oleh karena itu, kita sebagai umatnya sah-sah saja meniru perbuatan Nabi yang tidak dalam konteks ibadah. Seperti sahabat Abdullah bin Umar yang selalu ingin sama persis dengan Nabi Saw. Bahkan, sampai dalam persoalan langkah kaki untanya. Ia ingin menyamakan langkah kaki untanya dengan langkah kaki untanya Nabi. Terlebih ketika sama-sama sedang dalam bepergian. Dan begitulah juga yang dilakukan oleh para sahabat-sahabat yang lain.

3 Pembagian Syariat Menurut Para Ulama

Di dalam kitab Ushul Fikih karya Abu Zahrah ada penjelasan bahwa perkataan, perbuatan, dan pengakuan atau persetujuan Nabi itu sudah tidak diragukan lagi (menjadi Hujjah Syar’iyah). “Masih mirip dengan pertanyaan di atas”. Jadi, apakah seluruh perkataan, perbuatan, dan pakaian Nabi itu bagian dari Agama? Para ulama disini membagi menjadi tiga: yang pertama terkait dengan syariat agama, seperti salat, puasa, dan haji. Jadi, macam yang pertama ini adalah syariat yang mengikat kepada umat. Karena itu, adakalanya perbuatan Nabi adalah sebagai penjelas terhadap syariat, yang tidak dijelaskan secara detail oleh Al-Qur’an.

Yang kedua, perbuatan yang khusus hanya buat Nabi, seperti menikah lebih dari empat. Yang ketiga, perbuatan yang Nabi lakukan karena tuntutan tradisi, atau karena kecenderungan terhadap pilihan pribadi (Thabi’at). Seperti kesukaan pada pilihan warna, selera makanan, dan semacamnya. Nah, pada bagian yang ketiga inilah para ulama ada yang masih berselisih.

Diantara persoalan yang diperselisihkan adalah apakah itu hanya sebatas tradisi atau syariat dari agama, contohnya seperti memelihara jenggot. Jadi menurut ulama yang pertama itu adalah bagian dari hukum syariat, dengan berdasarkan pernyataan Nabi “ cukurlah kumismu dan panjangkanlah jenggotmu”. Kemudian, pendapat yang kedua mengatakan itu adalah hanya persoalan tradisi saja, karena perintah Nabi yang di atas hanya untuk membedakan terhadap kebiasaan orang Yahudi di Madinah yang memanjangkan kumis dan mencukur jenggot. Jadi simpel saja, mau melihara jenggot atau tidak ya silahkan.

Wallahu A’lam Bisshawab.

By Thoha Abil Qasim

Mahasantri Ma'had Aly Situbondo