Majalahnabawi.com – Berbagai macam bencana alam yang terjadi di Indonesia telah menggiring eksistensi alam menuju krisis lingkungan. mulai dari bencana banjir, longsor, meningkatnya emisi rumah kaca dan lainnya, adalah fenomena yang tentunya tidak terjadi secara fatalistik. Akan tetapi disebabkan intervensi manusia dalam memandang sumber daya alam –antroposentrisme- sebagai objek seksual semata (eksploitasi).

Segala penyimpangan (anomali) tersebut, tentunya akan mengancam kelestarian alam sebagai tempat tinggal manusia saat ini. membuang sampah sembarangan, deforestasi (penebangan hutan), serta abainya manusia untuk menciptakan udara bersih dan lingkungan sehat, merupakan bentuk dekadensi kesalehan sosial yang terjadi pada manusia modern.

Fenomena di atas memaksa kita untuk mengingat kembali tentang pentingnya kelestarian alam. Hemat saya, dalam hal ini perlunya afirmasi dari ajaran agama yang terfokus terhadap kelestarian lingkungan. maka Fikih Lingkungan -dalam istilah lain fikih ekologi- dapat menjadi Problemsolver (pemecahan masalah) bagi manusia modern saat ini.

Mengenal Fikih Ekologi (lingkungan)

Fikih merupakan metodologi dalam ajaran Islam yang membahas seputar dinamika problematika manusia (Mukallaf) dengan bertumpu pada dalil-dalil terperinci, konsekuensi dari pernyataan ini menjadikan fikih sebagai hal yang dinamis (profan). Singkatnya, fikih tidak anti terhadap kemajuan, modernitas, yang terjadi di tengah realitas umat manusia.

Adapun istilah fikih lingkungan merupakan istilah kontemporer yang pertama kali dikenalkan oleh KH. Ali Yafie melalui bukunya “Merintis Fiqih Lingkungan Hidup”. Fikih lingkungan (ekologi) adalah rumusan hukum Islam yang mengatur tindak-tanduk manusia dalam berperilaku dan berinteraksi terhadap lingkungan yang bersumber dari al-Quran maupun Hadis serta metode penetapan hukum lainnya [baca: Eksistensi Fikih Lingkungan di Era Globalisasi].

Sayangnya, masyarakat lebih akrab dengan pembahasan seputar fikih kebangsaan, fikih toleransi dari pada fikih ekologi. Saya tidak menyalahkan sepenuhnya, hanya saja, melihat kondisi ekosistem yang sudah berada di bibir anomali (penyimpangan), kiranya penting menempatkan pembahasan fikih ekologi dalam pembahasan yang lebih rigid dan komprehensif.

Islam sebagai agama yang universal tentunya tidak luput dari pembahasan ekologi. Meskipun ulama terdahulu tidak membekukan konsep mengenai ekologi sebagai hal yang formal dan rigid. Akan tetapi nilai intrinsik yang menyinggung permasalahan ekologi sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan fondasi awal dalam mewujudkan konservasi dan restorasi lingkungan sebagai upaya membumikan fikih ekologi.

Membumikan Fikih Ekologi

Misalnya Nabi melarang para sahabat untuk membuang air seni di bawah pohon yang berbuah, menebang pohon secara liar –bahkan dalam kondisi perang-, juga larangan membuang sampah sembarangan. Hal demikian termaktub dalam ajaran Islam yang disampaikan oleh kanjeng Nabi.

Ironisnya, ajaran tersebut justru tidak terlalu mendapatkan posisi strategis di tengah masyarakat. Misalnya sampah yang berserakan setelah adanya perayaan maulid Nabi. Tak jarang setelah acara selesai, sampah masih bersebaran di tempat tersebut.

Sebuah momentum acara peringatan hari kelahiran Nabi –maulid- yang di dalamnya menceritakan sejarah perjuangan dakwah sang Nabi dalam menyebarkan Islam, tidak menjadikan kita semangat dalam menjalankan sunah dan ajarannya, namun malah memudarnya kesalehan sosial dalam bentuk ekologis.

Sehingga kehadiran fikih ekologi dianggap sebagai instrumen yang penting untuk saat ini. fikih ekologi merupakan penerapan lebih lanjut dari ajaran Islam untuk menghadapi fenomena ekologi yang semakin mengancam keutuhan alam.

berangkat dari kaidah fikih “kemudharatan harus dihilangkan” kiranya dapat menjadi generator awal bagi masyarakat muslim –sebagai duta rahmatan lil ‘alamin– untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. secara teknis hal tersebut dapat merujuk pada Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) no. 32 tahun 2009.

Membangun Kesadaran Spiritual

Dewasa ini, manusia modern cenderung memandang alam sebagai objek pasif yang tidak memiliki daya di hadapan manusia. Sehingga pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan sering kali terjadi hingga menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem.

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang diharapkan dapat menjadikan kehidupan manusia lebih efisien dan efektif, turut serta andil dalam menyumbangkan kerusakan alam.

Hal ini sejak lama telah disinggung oleh Francis Bacon bahwa “Pengetahuan adalah kekuasaan” bagaimana kekuasaan itu berjalan –berkat atau malapetaka- tergantung siapa yang menjalankan amanat keilmuan tersebut.

Dengan demikian, perlunya menghadirkan kembali ajaran agama –moral dan etika- yang berperan mendampingi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka, fikih ekologi dapat menjadi salah satu opsi sebagai bentuk refleksi kontemplatif (perenungan) yang membangun kesadaran spiritual tentang pentingnya kelestarian alam.

Kesadaran tersebut harus membawa manusia untuk merenungi kembali eksistensi mereka sebagai khalifah yang diamanatkan untuk menjaga keutuhan alam. Allah Swt secara jelas melarang manusia untuk membuat kerusakan di muka bumi.

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya”

Tafsir Ayat

Imam al-Razy (w. 1210 M) dalam kitabnya “Mafatih al-Ghaib” menafsirkan makna ayat di atas sebagai bentuk larangan untuk membuat kerusakan terhadap jiwa, harta, agama, nasab dan akal. Kiranya dapat dimaklumi, mengapa al-Razi tidak menyinggung kerusakan ekologi pada ayat ini, dikarenakan problematika kerusakan alam bukanlah fenomena yang mengkhawatirkan pada saat itu.

Namun menurut ulama kontemporer seperti halnya Syekh Dr. Yusuf al-Qaradawi yang memahami makna “kerusakan” di atas, sebagai krisis lingkungan secara fisik yang mengakibatkan berbagai bencana, seperti penyebaran penyakit, krisis pangan, krisis sumber daya alam, perubahan musim, pencemaran lingkungan yang membahayakan seluruh spesies bumi. [baca: Al-Quran dan Wawasan Ekologi].

Syekh Dr. Yusuf al-Qaradawi seorang cendekiawan muslim dari Mesir Menambahkan pembahasan konservasi lingkungan (khifzu al-Bi’ah) dalam maqasid al-syariah. Menurutnya fikih ekologi merupakan tuntutan untuk melindungi kelima tujuan syariat (Qawaid al-khamsah) yaitu menjaga jiwa, agama, akal, harta dan nasab.

Misalnya, menjaga jiwa (hifzh al-nafs), menjaga agama (hifzu al-din) dan seterusnya, tidak akan dapat direalisasikan di tengah kondisi alam yang sedang sakit. Sehingga konservasi lingkungan (hifzh al-biah) menjadi instrumen yang fundamental dalam menjalankan Maqasid al-Syariah.  

Dengan demikian, kiranya fikih ekologi dapat menjadi acuan bagi manusia untuk meningkatkan kesalehan sosial dalam bentuk perhatiannya terhadap ekologi dan keselamatan manusia.

Wallahu A’lam