Marah

Majalahnabawi.com – “Aku berpikir maka aku hidup”, setidaknya ini makna dari Cogito Ergo Sum, kata bijak masyhur yang dilontarkan oleh Rene’ Descartes (w. 1650 M). Menariknya, berpikir bukan hanya bermakna merasa bahwa diri ini ada serta hidup, karena orang yang banyak berpikir tak jarang merasa ingin mati saja. Dengan kata lain isi kepalanya sedang kusut-sekusutnya, dopamin luput dari hidupnya. Hidup terasa sempit, maju kena mundur kena, terus dengan circle yang sama hingga bosan, tujuan hidup menjadi bias, prinsip hidup mulai menguap, pandangan untuk melanjutkan kehidupan ikut rabun. Bukankah hidup ini dipenuhi dengan pilihan? Bukankah seseorang diuji sesuai dengan kadarnya masing-masing? Lantas kenapa mereka yang kalah merasa tidak mendapatkan keadilan. Maka berpikir selain menjadi bukti bahwa manusia hidup, ia juga menjadi bukti bahwa manusia punya pilihan.

Depresi pada Generasi Z

Abad 21 memiliki peradaban yang berbeda dengan abad di zaman pemburu-pengumpul, atau zaman revolusi industri dan revolusi kognitif tanpa terkecuali bagi generasi milenial dan generasi Z yang banyak bersenggama dengan media sosial. Semakin maju peradaban bukan berarti menurunnya tingkat stres, depresi pada manusia. Sebuah realita bahwa yang bertahan adalah yang punya ketabahan (Duckworth, 2020).

Rasa mudah mengeluh saat kendaraan terjebak kemacetan, antri saat mengambil dana bantuan yang menunggu lama, proses pembuatan KTP dan sejenisnya yang memakan waktu, pasangan yang suka bertengkar, bahkan hujan tak jarang dihakimi karena telah mengacaukan jadwal temu atau pandemi yang merusak segala-galanya.

Manusia selalu berpikir untuk memilih sesuatu yang akan menguntungkannya, tapi tak jarang mereka yang sepertinya peduli terhadap diri sendiri malah lebih disibukkan dengan perkataan orang lain, atau dalam bahasa halusnya “Hidup di bawah tirani opini orang lain”. Delusi terencana tak selamanya bisa membantu, maka manusia perlu untuk belajar tabah dan menerima. Inilah kabar baiknya, bahwa kita manusia dikaruniai pola pikir.

Macam-Macam Stres

Secara umum, stres bisa dibagi menjadi dua macam yaitu stres secara fisik dan psikis, bila stres secara fisik maka bisa diatasi dengan beristirahat yang cukup dan teratur. Namun bila stres psikis maka perlu memperbaiki pola pikir. Pola pikir adalah kunci. Dalam artian bahwa yang jadi masalah bukanlah stres, tapi pola pikir atau persepsi yang dibangun terhadap stres tersebut yang tak terkendali. Contoh mudahnya ialah tatkala dikepung macet saat ingin ke kampus sedangkan dosen pembimbing sudah menuggu, atau saat akan menyelesaikan tugas dan ternyata tugas tersebut diubah kembali formatnya oleh penguji. “Haduh”, mungkin lafal ini yang akan terucap dari mulut bersamaan dengan keluarnya nafas panjang.

Tentunya ada banyak problematika yang membuat manusia stres, baik karena faktor internal atau eksternal. Stres ini akan mengakibatkan tubuh mengeluarkan zat. Lalu respon adrenalin pun meningkat bersamaan dengan meningkatnya tekanan darah, diikuti dengan pembuluh darah yang menyempit lalu puncaknya kepala menjadi tegang dan merusak kesehatan tubuh. Benar jika Hans Seyle pernah menyentil hal ini, “Bukan stres yang membunuh kita, tapi reaksi kita terhadapnya” (Manampiring, 2020).

Kemudian dalam jangka panjang, kondisi seperti ini akan meningkatkan hormon stres, namanya korisol. Sebaiknya stres ini bersifat akut, karena jika manusia terbiasa dalam keadaan stres, maka dia tidak akan sadar bahwa dia dalam keadaan stres dengan kata lain stres akan menjadi pendamping hidupnya.

Menyikapi Masalah

Masalah kehidupan boleh jadi ambruk, ini kabar buruknya, namun kabar baiknya adalah bahwa semua masalah berada dalam kendali manusia. Iya, persepsi adalah milik kita seutuhnya, tatkala sedang terjebak macet, biasanya manusia hanyut dalam emosi negatif dengan mengunjing atau memukul klakson hingga puas. Bila dipikir dengan kepala dingin, maka kita bisa membuat sebuah delusi terencana. Misal, tatkala kehilangan barang berharga berupa perhiasan, maka pola pikir bisa diubah untuk menganggap bahwa barang tersebut lebih baik untuk tidak dimiliki serta menerima bahwasanya dunia ini adalah tempat persinggahan dan orang yang singgah bukanlah pemilik asli barang tersebut.

Filsafat Stoa yang juga dijuluki dengan filosofi teras terkenal dengan konsep dikotomi kendalinya, karenanya konsep ini tak jauh berbeda seperti konsep takdir yang kita kenal dalam Islam. Ada sesuatu yang berada dalam kendali kita dan ada pula yang berada di luar kendali kita. Mereka yang benar-benar dapat memahami dan mempraktikkan konsep ini akan minim merasa stres dalam hidupnya, karena ia tidak akan menyia-nyiakan tenaganya untuk berpikir keras tentang hal yang tidak perlu.

Merefleksikan Skenario Filsafat Stoa

Di antara contoh skenario yang merefleksikan konsep ini adalah sebagai berikut:
1. Prestasi sekolah, tentunya sekilas ini tampak dalam kendali kita. Memang benar, kita yang belajar dengan tekun, melunasi segala tugas. Tapi jangan lupa bahwa ada partikel lain seperti penilai. Penilai dengan pikirannya dalam menilai tidaklah dalam kendali kita. Boleh jadi yang sudah bekerja keras, namun yang nampak di permukaan lembar rapor adalah angka yang tidak memuaskan hanya karena saat menilai, sang penilai sedang dalam keadaan tidak mood.
2. Karir di kantor, berada dalam kendali kita. Walau ada banyak hal yang juga di luar kendali seperti subjektivitas penilaian kinerja yang baik, kolega yang dengki, sikon pasar yang berubah-ubah.
3. Relationship, kita bisa berjuang mendapatkan hatinya, memberi salam di pagi dan malam hari, mengirimkan cokelat kesukaan, bunga serta bersafari menikmati alam. Tapi tetap, bahwa yang memiliki hati bukanlah kita, maka perlu belajar menerima sebuah penolakan.
4. Kompetisi, terkadang banyak hal yang tak mendukung kita, seperti cuaca, gangguan teknis panitia bahkan lawan tanding yang memang lebih ulet. Kita harus tetap memperjuangkan hal yang berada dalam kendali.

Dalam siklus sosial, orang yang gampang stres adalah orang yang punya kecendrungan bahwa ia tidak bisa mengontrol sesuatu (sense of personal control). Semua orang wajar terkena masalah dan merasa sedih, tapi kita berusaha untuk problem solving, karena kita merasa ada yang bisa kita lakukan. Mereka yang menganggap bahwa dirinya tak punya kendali apapun atas masalah, beranggapan bahwa yang terjadi di hidupnya dibentuk oleh sesuatu di luar kendali dirinya seperti keberuntungan, orang lain yang lebih kuat serta kesempatan. Sehingga ketika ada masalah ia tidak punya metode untuk problem solving (Kishimi dan Fumitake, 2019).

Solusi Stres

Para praktisi filsafat Stoa memberikan opsi yang solutif, sebuah rumus simple serta relevan untuk abad ini jika berhasil diimplementasi. S-T-A-R (StopThinkAssessRespond). Praktiknya bisa dicoba, hal pertama yang perlu dilakukan tatkala bertemu masalah ialah dengan berhenti sejenak supaya tidak kebablasan dibawa emosi negatif. Kemudian memberikan akal waktu untuk mengkonsumsi masalah dengan baik dan menilai interpretasi rasional seperti apa yang sebaiknya diambil pada masalah ini. Setelah selesai memproses, waktu untuk merespon pun tiba. Respon yang diambil inilah yang akan merubah keadaan dari yang seharusnya stres menjadi terkendali. Respon bisa berbentuk ucapan atau tindakan, tentu dengan memberikan waktu sejenak kepada akal, membuat kita benar-benar memaksimalkan akal.

Rumus di atas adalah bagian dalam teori mengatasi stres yang disebut problem focused coping, di mana kita melakukan sesuatu yang masih di dalam kendali. Adapun usaha lainnya ialah emotional focused coping, sebuah usaha mengatasi emosi seperti berdoa di saat tidak ada lagi yang bisa dilakukan (Aurelius, 2021).

Filsafat ini mengakui bawha mengenali sumber stres akan membantu kita melawannya dan tentu dibersamai dengan usaha lainnya seperti membiasakan pola hidup sehat, seperti olahraga, mengobrol dengan kolega dan aktivitas bahagia lainnya adalah habit yang sangat berguna.

Manajemen Stres

Dalam hidup, ada hal-hal yang di bawah kendali kita dan ada yang tidak. Orang yang bijak adalah ia yang bisa mengenali kedua kategori ini dalam segala sikon di dalam hidupnya. Dengan begitu, baik tidaknya hidup kita tergantung pada apa-apa yang menjadi kendali kita, tapi filosofi teras tidak bermaksud mengajarkan pasrah total pada hal-hal yang di luar kendali kita, karenanya kita perlu maksimal pada kendali diri.

Maka dari itu, apakah manajemen stres berarti manajemen persepsi? Iya benar. Misal, orang yang mengabsen semua nama isi kebun binatang tatkala kesal terhadap cuaca hujan, ini adalah persepsi yang berasal dari emosi negatif. Sedangkan persepsi positif adalah “Wah, ada kesempatan untuk akses berita terbaru” atau “Sepertinya istirahat dulu hari ini”. Kabar baiknya persepsi positif bisa didapatkan dengan menggunakan rumus S-T-A-R di atas. Hujannya tetap sama, tapi cara bersikapnya berbeda. Dan ini akan mengurangi stres. Mari menjadi praktisi filsafat Stoa bersama, konsep ini pula semakna dengan hadis Nabi Muhammad Saw.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قال: لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، وَلَكِنَّ الشَّدِيدَ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Dari Abu Hurairah ra (w. 57 H) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah orang yang kuat adalah orang yang pandai bergulat, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan nafsunya ketika ia marah.” HR. Al-Bukhari

By Mifta Dwi Kardo

Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.