Hukum Menyentuh Kemaluan Setelah Berwudhu

Majalahnabawi.com – Menyentuh kemaluan setelah berwudhu senantiasa menjadi pembicaraan dan pertentangan para ulama, baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin, bahkan di kalangan kaum muslimin pada umumnya.

Hadis

Hadis-hadis tentang menyentuh kemaluan setelah berwudhu ini mengandung beberapa pemahaman yang menyebabkan implikasi hukum yang bermacam-macam pula. Hal ini disebabkan karena terdapat hadis-hadis yang tampak kontradiktif mengenai batal atau tidaknya menyentuh kemaluan setelah berwudhu atau dalam keadaan suci.

Adapun hadis yang menegaskan batalnya wudhu sebab menyentuh kemaluan itu diriwayatkan oleh Busrah binti Shafwan. Sedangkan hadis yang menegaskan tidak batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan itu diriwayatkan oleh Thalq bin Ali.

Berikut teks hadisnya:

أَخْبَرَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا مَعْنٌ، أَنْبَأَنَا مَالِكٌ، ح وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ، عَنِ ابْنِ الْقَاسِمِ قَالَا: أَنْبَأَنَا مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ يَقُولُ: دَخَلْتُ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ فَذَكَرْنَا مَا يَكُونُ مِنْهُ الْوُضُوءُ. فَقَالَ مرْوانُ: مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ الْوُضُوءُ. فَقَالَ عُرْوَةُ مَا عَلِمْتُ ذَلِكَ. فَقَالَ مَرْوَانُ: أَخْبَرَتْنِي بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ» (رواه النسائي)

Telah mengabarkan kepada kami Harun bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Ma’an Telah memberitakan kepada kami Malik dan Al Harits bin Miskin telah dibacakan kepadanya dan saya mendengarnya dari Ibnu Qasim berkata; Telah memberitakan kepada kami Malik dari Abdullah bin Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazim bahwasanya dia mendengar Urwah bin zubair berkata, “Aku menemui Marwan bin Hakam, lalu kami menyebutkan hal yang mengharuskan untuk berwudhu. Lalu Marwan berkata, menyentuh kemaluan”. Urwah berkata, “Aku tidak tahu hal tersebut. Lalu Marwan berkata lagi, Telah mengabarkan kepadaku ‘ Busrah binti Shafwan bahwa dia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ” Apabila salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. al-Nasai)

Hadis Lain

أَخْبَرَنَا هَنَّادٌ، عَنْ مُلَازِمٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَدْرٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: خَرَجْنَا وَفْدًا حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ وَصَلَّيْنَا مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ جَاءَ رَجُلٌ كَأَنَّهُ بَدَوِيٌّ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تَرَى فِي رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فِي الصَّلَاةِ؟ قَالَ: «وَهَلْ هُوَ إِلَّا مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بِضْعَةٌ مِنْكَ» (رواه النسائي)

Telah mengabarkan kepada kami Hannad dari Mulazim dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Badr dari Qais bin Thalq bin Ali dari Bapaknya dia berkata, “Kami keluar (dari daerah kami) hingga kami sampai kepada Rasulullah ﷺ. Lalu kami berbaiat kepadanya dan shalat bersamanya. Setelah selesai shalat datanglah seseorang yang kelihatannya seorang Badui, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah ﷺ, Apa pendapat engkau tentang orang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat? ‘ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘ Bukankah itu hanya bagian dari dagingmu?’ (HR. al-Nasai)

Kedua hadis yang tampak kontradiktif tersebut membuat para ulama menjadi terbagi kepada dua mazhab dalam menafsirkan kedua hadis tersebut. Mazhab yang pertama ialah mazhab tarjih atau naskh (menghapus). Mazhab yang kedua ialah mazhab jam’u (kompromi).

Pendapat Ulama

Ulama yang menganggap hadis Busrah lebih kuat, atau hadis tersebut menaskh (menghapus) hadis Thalq bin Ali, mereka berpendapat wajib wudhu karena menyentuh kemaluan. Sebagian ulama yang lainnya menganggap hadits Thalq bin Ali lebih kuat, dia menggugurkan kewajiban berwudhu.

Sementara ulama yang berusaha mengkompromikan diantara kedua hadis tersebut, mereka mewajibkan berwudhu pada satu keadaan dan tidak mewajibkannya pada keadaan yang lainnya, atau memahami hadits Busrah dengan sunah, sementara hadits Thalq bin Ali dipahami dengan tidak adanya kewajiban.

Dari kedua cara dalam menafsirkan hadis tersebut, dapat disimpulkan hukum menyentuh kemaluan setelah berwudhu sebagai berikut:

1. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa menyentuh kemaluan dengan cara apa pun dapat membatalkan wudhu, ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan para pengikutnya, Imam Ahmad, juga Daud.

2. Ada pula yang berpendapat tidak membatalkan wudhu, ini adalah pendapat Abu Hanifah dan para pengikutnya.
Kedua pendapat ini ada pendahulunya dari kalangan sahabat dan tabiin.

3. Sebagian ulama membedakan tergantung kepada sentuhan itu sendiri, lalu mereka berbeda pendapat lagi dalam hal ini:

a. Diantara mereka ada yang membedakan antara sentuhan bersyahwat dan tidak.

b. Ada juga yang membedakan antara sentuhan dengan telapak tangan bagian dalam dan bagian luarnya. Mereka mewajibkan wudhu dalam menyentuh kemaluan yang menimbulkan atau merasakan syahwat dan tidak mewajibkannya jika tidak bersyahwat, begitupula mewajibkan wudhu jika menyentuh dengan telapak tangan bagian dalam, dan tidak mewajibkannya jika menyentuh dengan bagian luar.

Dua pendapat ini diriwayatkan dari para pengikut Imam Malik, adapun alasan telapak tangan bagian dalam kembali kepada sebab adanya syahwat.

c. Yang lainnya membedakan antara menyentuh dengan sengaja dan lupa, wajib berwudhu jika menyentuh dengan sengaja dan tidak wajib jika menyentuhnya karena lupa, pendapat ini diriwayatkan dari Malik, dan merupakan pendapat yang dipegang Daud beserta pengikutnya

4. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa wudhu karena menyentuh kemaluan adalah sunah hukumnya bukan wajib, Abu Umar berkata, “lnilah yang tetap dari mazhab Maliki di kalangan penduduk Maroko, sementara riwayat dari beliau adalah tidak jelas.”

Pendapat Ulama Indonesia

Muslim di Indonesia mayoritas menggunakan mazhab Imam al-Syafi’i, seyogianya untuk kita selaku muslim yang bermazhab imam al-Syafi’i mengetahui bagaimana hukum menyentuh kemaluan setelah berwudhu dalam mazhab Syafi’iyyah.

Dapat disimpulkan di sini bahwa menurut pendapat dalam mazhab Imam al-Syafi’i menyentuh kemaluan itu dapat membatalkan wudhu, baik masih melekat ataupun sudah terpisah dari pemiliknya, baik milik sendiri maupun milik orang lain, milik anak-anak atau orang dewasa, laki-laki atau perempuan, orang hidup atau orang mati, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja dengan catatan menggunakan telapak tangan tanpa ada batas penghalang antaranya. Adapun menyentuh kemaluan dengan zhahir al-kaff (punggung telapak tangan atau tangan bagian luar) maka tidak membatalkan wudhu.

Dari berbagai pendapat para ulama di atas, alangkah baiknya bagi kita selaku muslim yang bermazhab Syafi’iyyah tetap mengakui keberadaan pendapat lain yang berbeda di luar mazhab Syafi’iyyah sehingga kita dapat saling menghormati dan menghargai dengan pengikut mazhab-mazhab selain mazhab Syafi’iyyah.

Similar Posts