Majalahnabawi.com – Usaha kudeta militer Myanmar sejak Senin (01-02-2021) kemarin, menambah rekam jejak Tadmadaw (sebutan militer Myanmar) dalam usahanya menggagalkan pemerintahan sipil di negeri pagoda emas tersebut. Kabar terakhir dari Myanmar menyebut bahwa ratusan ribu pendemo telah terjun ke jalanan bahkan beberapa orang telah meregang nyawa. Upaya penggulingan pemerintahan yang sah memang kerap kali menimbulkan kekacauan baik dalam urusan sosial, politik, hingga ekonomi negara.

Apa Itu Kudeta?

Kudeta mudahnya adalah kegiatan-kegiatan penggulingan kekuasaan yang sah baik oleh militer atau kelompok lain. Biasanya, latar belakang kudeta diprakarsai keserakahan kekuasaan atau ketidakpuasan masyarakat atas kinerja pemerintahan. Terlepas dari itu semua, bagaimanakah muslim Ahlusunah Waljamaah dalam menyikapi kudeta?

Agar lebih mengerti bagaimana pandangan kelompok Ahlusunah Waljamaah terhadap kudeta, baiknya kita mundur beberapa abad ke belakang pada saat bibit kelompok ini mulai tumbuh. Nurcholish Madjid dalam karyanya “Khazanah Intelektual Islam” menyebut bahwa akar kelompok Ahlusunah mulai menyeruak pada saat rezim Khalifah Muawiyah. Para intelektual muslim kala itu banyak yang mencurahkan diri pada bidang keilmuan daripada ikut campur dalam kekisruhan politik antara pendukung Muawiyah dan pendukung Ali.

Terlebih peristiwa fitnah besar yang melanda sebelumnya. Terutama pada Khalifah Usman dan Ali juga Muawiyah yang menyebabkan umat Islam saling bunuh-bunuhan sehingga menimbulkan rasa traumatis di benak para intelektual tadi. Pada akhirnya, kelompok ini lebih mengutamakan kesatuan dan persatuan umat daripada ikut campur dalam perebutan kekuasaan para elit poitik.

Abdullah bin Umar Sebagai Tokoh Inspirator Ahlusunah

Salah satu tokoh sahabat yang masyhur lebih memilih tidak ikut campur dalam gesekan politik antar umat Islam ialah Abdullah bin Umar ra. Ia lebih memilih mendalami tradisi masyarakat Madinah sebagai perwujudan tradisi Nabi yang hidup. Maka tidak aneh jika Abdullah bin Umar meriwayatkan hadis taat kepada pemimpin bagaimana pun keadaannya selama pemimpin tersebut tidak memerintah umat bermaksiat. Bahkan pada hadis lain, Abdullah bin Umar menyebut orang yang lari meskipun sejengkal dari pemerintahan yang sah, maka dia mati dalam keadaan jahiliyyah.

Sikap inilah barangkali yang diwariskan Abdullah bin Umar kepada para ulama Ahlusunah setelahnya. Bahkan, taat kepada pemerintah ini, termasuk di dalamnya larangan untuk bughat (pemberontakan) akan sangat mudah kita temui dalam kitab-kitab akidah Ahlusunah.

Larangan Kudeta Sebagai Akidah

Tidak main-main, saking ingin menjaga stabilitas negara demi teraihnya ibadah dengan rasa aman, tenteram, dan nyaman. Serta lebih menghindari konflik antar umat Islam, para ulama Ahlusunah merumuskan ketaatan kepada pemimpin adalah bagian dari akidah. Sikap “waras” lebih mementingkan persatuan umat daripada kekuasaan sesaat inilah yang perlu kita rawat.

Namun bukan berarti ketaatan ini menutup pintu kritik pada pemerintah jika dirasa kinerjanya tidak memuaskan. Adalah hak kita, bahkan tugas kita selaku umat Islam untuk saling mengingatkan, termasuk mengingatkan kinerja pemerintah jika kebijakannya melenceng dari kemaslahatan umat. Namun sekali lagi, kritik tersebut penyampaiannya harus dengan hati-hati dan tidak sembarangan.

 

By Ilham Fikri

Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences