Sebaik-baik Agama yang Memudahkan
Majalahnabawi.com – Islam merupakan ajaran yang mudah dan memudahkan, dan agama Islam tentunya tidak didatangkan untuk mempersulit kehidupan manusia. Mari kita merenungkan Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, r.a :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ :إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ.
Dari Abu Hurairah.r.a. berkata Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama iyu kecuali dia akan di kalahkan (semakin berat dan sulit).Maka carilah jalan tengah, dan mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira, serta gunakanlah waktu al-Ghadwah (awal pagi) dan al-Rauhah (setelah Zuhur) dan sebagian dari al-Duljah (malam hari)” (H.R. Bukhari. No 39, sunan an-Nasa’i No. 5034, dalam Bab ad-Din Yusrun, dan Ibnu Hiibban.No 351, Bab Zikru al-Amri bil Gudzu Warrauhah).
Agama yang dibawa oleh baginda Nabi adalah agama yang sempurna, penyempurna terhadap agama yang sebelumnya, sehingga tidak mungkin anda dapati kepincangan dalam pengaplikasiannya, salah satu ciri islam ialah Dinun Hanif Wa Rahmatun Wa Yusrun, Wa Rahmah (cenderung pada kebenaran, menebarkan kasih sayang dan memudahkan).
Dilihat dari ciri dasar ajaran Islam ialah terdiri dari tiga kesatuan yang saling mengokohkan yaitu: Akidah Syari’ah dan Akhlak, dalam aspek akidah manusia condong dan mengakui akan kebertuhanan, dalam Syari’ah islam cenderung memudahkan kemudian akhlak Islam sangat menghargai dan mengapresiasi nilai-nilai luhur etika manusia dalam segala hal.
Penulis ingin angkat pena dalam aspek ibadah spesifiknya karena sering kali, islam di klaim sebagai agama yang mempersulit, sering menyita waktu untuk beribadah kepada Allah, baik Mahdah, Maupun Ghairu Mahdah benarkah demikian? Mari kita Analisis diksi hadis di atas.
Secara bahasa kata Fa Saddidû, bersikaplah Proporsional, mengimbangkan, Waqâribû Mendekatlah dengan tanpa Tafrit dan Ifrad (tidak berlebihan dan tidak meremehkan). Abu Zannad sebagaimana yang kutip oleh Ibnu Batthal maksud dari pernyataan tersebut ialah sederhana didalam beramal.
Waabsyirû diksi ini adalah untuk menghibur diri, sebagaimana dalam Qur’an Fussilah ayat 30. Maksudnya menaruh Raja’ (harapan) terhadap Rahmat Tuhan yang maha luas. Wasta’inû, Bil Ghadwah War-Rauhah Wa Syai’in Min al-Dujlah. As-Suyuti berkata al- Ghadwah perjalanan di awal hari, sementara War-Rauhah berjalanan di sore hari dan al-Dujlah, adalah berjalan di akhir malam, artinya makna majasi dari lafaz tersebut mengisyaratkan bahwa tidak semua waktu cocok untuk dijadikan waktu ibadah, melainkan waktu-waktu tertentu barangkali seseorang mempunyai spirit yang lebih dibandingkan waktu yang lainnya, dalam hal ini Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa hadis tersebut adalah Kritikan terhadap orang yang mengamalkan agama diluar kadar kemampuannya. Di dalam Riwayat Ahmad dikatakan “sebaik-baik agama kalian ialah yang memudahkan”
Hadis tersebut memperjelas hadis yang pertama, tentang kebenaran agama, agama adalah memudahkan, agama sudah berdiri tegak tidak bisa dikalahkan, bahkan kebenaran agama selalu menyesuaikan konteks tanpa harus lebih-lebihkan,maka barang siapa yang cenderung Ekstrim, mempersulit, memaksakan di luar kemampuan maka orang tersebut akan dikalahkan, karena pada dasarnya jati diri manusia adalah makhluk yang lemah, sehingga ketidakseimbangan mental akan timbul kalau lah sampai memaksakan agama diluar kemampuannya
Menjaga keseimbangan di dalam menjalankan perintah agama adalah sangat penting, untuk menghindari rasa jemu, putus asa di dalam menjalankan kewajiban agama.
Hal ini terlebih dalam aspek ibadah salat Zakat, puasa, serta amalan Sunah lainnya, dibutuhkan pengetahuan dan ilmu agama karena bagaimanapun juga ilmu tersebut adalah pohonnya, kemudian amal adalah buahnya, ilmu itulah yang menjadikan seseorang, berpijak pada kebenaran. Boleh jadi satu rakaat salatnya orang berilmu lebih baik, tujuh puluh kali lipat dari pada salatnya Abid.
Agar tidak panjang lebar, penulis mengajak pembaca kembali dan mengambil pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, bahwa islam bukan berarti mencegah seseorang untuk memperoleh hasil yang paling sempurna, berlomba-lomba di dalam mengejawentahkan perintah agama, tetapi islam menyarankan agar tidak bersikap ekstrim, berlebihan yang berimplikasi pada meninggalkan kewajiban lainnya.
Dalam hal ini tiga sahabat yang bersikap ekstrim, berusaha ingin menandingi ibadah Nabi mereka mendapatkan teguran langsung dari Nabi, yang pertama berkata “saya salat sepanjang malam tiada hentinya, yang kedua saya berpuasa sepanjang tahun, tanpa berbuka. Yang ketiga berkata ” saya telah menjauhi wanita dan saya tidak mau menikahinya
Jawaban Rasulullah Saw “Kalian yang mengatakan seperti itu! Demi Allah saya adalah yang paling bertakwa di antara kalian, saya juga puasa tetapi makan, juga salat tetapi juga tidur, dan saya juga menikahi seorang wanita, maka barang siapa yang tidak suka terhadap sunahku maka dia bukanlah dari golongan umatku”. (HR. Bukhari)
Di dalam riwayat Ibnu Mas’ud dikatakan: هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ “celakalah orang yang berlebihan dalam ucapan dan perbuatannya”
Maksud dari hadis di atas ialah orang berucap melebihi kadar ilmunya akan binasa, orang yang berlebihan dalam beramal, di luar kadar kemampuannya akan binasa. Lantas hemat kami tidak ada jalan lain untuk menghindar dari kebinasaan tersebut kecuali mengambil jalan tengah, tidak berlebihan dan tidak meremehkan.
Al-Qur’an menganjurkan agar menyesuaikan dengan kadarnya ”Bertaqwalah kalian sesuai degan kadarnya”(Q.S al-Tawwabun ayat 16) tentu setiap Insan mempunyai tingkatan yang berbeda dari lihat dari sudut pandang keimanannya.
Sebagian mereka tidak terasa Sholat sepanjang malam tanpa henti, sekalipun terjadi bengkak pada kakinya, sebagaimana yang terjadi pada Nabi ketika Sayyidah Aisyah bertanya “mengapa engkau melakukan sampai seperti ini? Bukankah saya ingin menjadi hamba yang bersyukur, jawab Nabi. Kemudian sebagian mereka separuh malamnya sudah terasa lelah, sebagian mereka beberapa Rakaat sudah lelah.
Implikasi dari sikap mental seseorang itulah akan tahu terhadap kadar masing-masing kemampuannya bahwa setiap orang itu berbeda, sesuai dengan kapasitas keimanan dan ketakwaannya, kemudian rasa jenuh dan pesimisme itulah adalah beban mental ketika ia memaksakannya.
Namun dibalik yang terpenting agama itu tidak membebankan sesuatu di luar kadarnya dan yang terpenting dibalik sebuah ketaatan adalah kekonsistenan dalam menjalankannya, Sayyidah Aisyah, r.a ditanya tentang perihal ibadah Nabi, Aisyah menjawab “apabila Nabi melakukan salat ia Suka melanggengkannya.” Dalam riwayat lain “Amalan yang paling utama di sisi Allah SWT, ialah amalan yang terus menerus meskipun sedikit”
Daftar Pustaka:
Al-Jâmi’ al-Musnad al-Muhktashar Min Umuri Rosululillah Saw Wa Sunanihi Wa Ayyâmihi (Shoheh Bukhari) (al-Gurabâ al-Madinah an-Nabawiyah 1996 M)
Musnad Ahmad at-Thayalisy (ar-Risâlah 2001 M)
Sunan an-Nasâ’i< (al-Makatabah al-Matbu’ah al-Islâmiyah Halab1976 M)
Shoheh Ibnu Hibban
Umdatul Qârî Libni Batthal( Dar-Al-Ihya’Turast al-Arâbi, Bairut)
Fathul Bâri Li Ibni Hajar al-Asqalani .( Dar- alMa’rifat Bairut1349H)
Muhktashar Ali Hamzah Lil-Bukhari( Dar-al Ilmi Surabaya)
Syarah Asmaul Husna Lil Gazali (Dar-al-Kutub ilmiah Libanon)