Majalahnabawi.com – Kemudahan digital adalah sesuatu yang tak bisa kita hindari pada saat ini. Akan tetapi hal ini berdampak pada ranah agama, aplikasi-aplikasi Al-Qur’an dan terjemahannya mulai bermunculan, sehingga melahirkan Digital Literate Muslims Generation, generasi di mana muslim bergantung pada penggunaan digital. Untuk mencegah dampak negatif dari perkembangan digital khususnya yang terjadi pada Al-Qur’an, artikel ini ditulis dengan berfokus pada aspek i’jazul Qur’an melalui teori Anti sinonimitas dalam perspektif Bintu asy-Syathi’, agar pesan ilahiyah Al-Qur’an tetap terjaga.

Menapaktilasi Bintu al-Syathi’

Tanggal 6 November 1913, telah lahir ilmuan Islam yang bernama Aisyah ‘Abdur Rahman di Dumyat wilayah sebelah barat Delta Nil. Ia adalah perempuan Arab yang tumbuh dalam keluarga muslim yang taat serta mempertahankan tradisi yang ada dan ia memiliki pengetahuan yang luas. Pada masa kecilnya, ia mampu menghafal beberapa ayat Al-Qur’an, khususnya surat-surat pendek dalam Al-Qur’an, hal tersebut dikarenakan Bintu asy-Syathi’ kecil selalu diajak oleh ayahnya untuk menyimak Al-Qur’an yang dibaca oleh ayahnya dan temannya. Bahkan sampai ia tidak memiliki waktu bermain dengan teman-temannya dikarenakan hal tersebut.

Ketika ia dewasa, Bintu asy-Syathi’ pun mulai terkenal oleh banyak orang karena studinya terhadap sastra Arab dan Tafsir Al-Qur’an. Pada tahun 1997, ia menyandang gelar profesor dalam bidang sastra dan bahasa Arab di Universitas ‘Ain Syam yang bertempat di Mesir.

Beberapa karya beliau dalam bidang Al-Qur’an di antaranya: Al-Qur’an wat Tafsir al-Ashri, al-I’jazul Bayaniy lil Qur’an, at-Tafsirul Bayani lil Qur’an, al-Israiliyyah fi Ghazwil Fikr. Ia juga menyelami beberapa bidang keilmuan dan dibuktikan dengan beberapa karyanya di antaranya Ummun Nabi, Al-Hayatul Insaniyyah ‘Inda Abi Lahab dan Nisaun Nabi.

Pemikiran Bintu asy-Syathi’ tentang Teori Anti Sinonimitas dalam Al-Qur’an

Menurut KBBI, sinonim adalah kata yang memiliki makna yang sama dengan kata yang lain. Sinonimitas dalam istilah berarti dua kata atau lebih yang memiliki arti yang sama. Sedangkan anti sinonimitas adalah kebalikannya, contohnya adalah kata “manusia” dengan kata “insan” dan kata “indah” dengan kata “cantik.

Ada beberapa ulama yang menolak adanya sinonimitas di dalam Al-Qur’an, seperti: Ibnul ‘Arabi, Ahmad bin Yahya Sa’lab, Ahmad bin Faris dalam karyanya as-Shahibi, Ibn Dastarwaih, Abu Hilal al-Askari, Abu Ishaq al-Isfarayini, dan sebagainya.  Dan ada juga beberapa ulama yang berpegang teguh pada pendapatnya akan sinonimitas itu sendiri yang juga terdapat dalam Al-Qur’an, seperti: Imam Sibawaih, imam Khalil dan imam Suyuthi.  

Mereka yang menolak adanya sinonimitas dalam Al-Qur’an berpendapat  bahwa setiap kata dalam Al-Qur’an memiliki makna khusus dan membedakan antara yang satu dengan yang lainnya.

Bintu asy-Syathi’ sendiri mengungkapkan bahwa setiap kata itu mengandung illat atau sebab mengapa kata tersebut diucapkan dalam konteks tersebut. Ia sendiri mengungkapkan dalam karyanya at-Tafsirul Bayani tentang metodologi teori anti-sinonimitas itu ada tiga langkah, yaitu:

Pertama, mencari makna asli sebuah kata di dalam kamus, kemudian mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat kata tersebut di dalamnya.

Kedua, setelah menemukan makna asli dari kata tersebut, maka cari makna rasionalnya dengan membaca redaksi ayat yang mencakup kata tersebut secara utuh.

Ketiga, menelaah penisbatan kata tersebut pada subjek atau objek tertentu. 

Kemudian setelah kita mengetahui teori-teori tentang anti-sinonimitas, tentu kurang lengkap jika kita tidak menerapkannya dan memberikan contohnya.

Penerapan anti sinonimitas terjadi pada beberapa kata dalam Al-Qur’an, beberapa di antaranya ialah kata  الحلم dengan kata الرؤيا. Jika kita artikan dalam kamus, maka keduanya memiliki makna yang sama yaitu mimpi. Untuk menetapkan makna yang rasional, maka kita harus mengetahui konteks pembicaraannya dalam ayat-ayat yang mengandung kata-kata tersebut terlebih dahulu.

Kata الحلم dalam Al-Qur’an ditemukan tiga kali dan semuanya dalam bentuk jama’ taksir (أحلام) yang berarti mimpi yang menunjukkan ketidakjelasan, seperti mimpi kosong atau bunga tidur semata.

Sedangkan pada kata الرؤيا ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak tujuh kali Dan semuanya dalam bentuk mufrod, yang berarti mimpi yang menggambarkan suatu yang terasa jelas dan jernih serta berbeda dengan mimpi pada umumnya. Lima dari tujuh mimpi tersebut adalah wahyu dari allah kepada para nabi, sedangkan dua mimpi lainnya adalah ilham yang dialami oleh penguasa kerajaan.

Dan dapat disimpulkan bahwa kedua kata di atas memiliki makna yang berbeda, meskipun secara umum keduanya mengandung arti yang sama yaitu mimpi.

Kritik Anti Sinonimitas Terhadap Digital Literate Muslim Generation

Perkembangan digital telah membentuk sebuah generasi baru yang disebut dengan Digital Literate Muslim Generation, generasi yang bergantung pada digital. Bahkan dalam memahami Al-Qur’an sendiri beberapa dari mereka hanya menggunakan Al-Qur’an terjemahan digital, dan beberapa hal yang harus dikritisi berdasarkan teori anti sinonimitas di atas, yaitu:

·         Pertama, Al-Qur’an terjemah tidak cukup untuk menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dan dapat menyebabkan kerancuan makna.

·         Kedua, maraknya dengan kemunculan da’i atau ustadz-ustadz media sosial yang karena dengan sekali klik saja ia mampu memperoleh berbagai informasi yang digunakannya sebagai bahan untuk mereka berdakwah, yang mana informasi tersebut belum tentu benar.

·         Ketiga, hilangnya tradisi pengajaran Islam yang biasanya dilakukan dengan tatap muka bersama guru, justru sekarang malah mereka cukup membuka smartphone-nya yang sudah terdapat aplikasi-aplikasi tentang kitab-kitab atau materi yang ingin dipelajari, sehingga menimbulkan rasa ketidak butuhan bimbingan guru dalam memahami pesan-pesan ilahi.

Perkembangan zaman harus disikapi dengan sebaik mungkin. Penggunaan teknologi secara proporsional merupakah salah satu langkah terbaik dalam menyikapi dan mencegah dampak buruk globalisasi. Begitu juga dalam memahami Al-Qur’an, penting bagi kita untuk menerapkan teori anti sinonimitas dan tidak hanya memahami Al-Qur’an dengan terjemahan secara umumnya saja. Karena hal tersebut dapat mengurangi nilai kemukjizatan Al-Qur’an sendiri.

Penulis: Arif Irham Hakim, mahasantri Darus-Sunnah semester 4

By Arif Irham Hakim

◾Mahasiswa Institut PTIQ Jakarta, Fakultas Ushuluddin Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.◾Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences