Majalahnabawi.com – Bagi pengkaji Hadis nama Ibnu Abbas sudah tidak asing lagi di telinga. Selain sebagai di antara perawi Hadis terbanyak, beliau adalah kerabat Nabi Saw., sepupu Nabi. Nama lengkapnya Abdullah bin Abbas, beliau anak dari sayyidina Abbas, paman Nabi. Selain dikenal karena merupakan kerabat Nabi, beliau juga dikenal karena keilmuannya. Terutama dalam tafsir Al-Quran.

Tentang keahliannya menafsirkan Al-Quran tidak terjadi perdebatan di kalangan para ulama bahwa beliaulah sahabat yang pakar akan tafsir Al-Quran. Kepiawaian menguraikan firman Allah ini tidak lepas dari doa Nabi untuknya:

وَضَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ بَيْنَ كَتِفَيَّ أَوْ قَالَ: عَلَى مَنْكِبَيَّ  فَقَالَ: ” اللّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Saw., meletakkan tangannya di pundakku seraya berkata, “Ya Allah pahamkan dia akan agama dan ajarkanlah dia akan takwil (tafsir)”. (HR. Imam Ahmad bin Hanbal)

Perihal kealimannya dalam tafsir, ada suatu kisah yang “mungkin” jarang orang ketahui, bahwa kealimannya tersebut pernah diragukan oleh para sahabat yang lain. Kisah ini bisa kita baca dalam kitab Shahih al-Bukhari (w. 256 H) dalam bab tafsir Al-Quran (surah an-Nashr: 2). Yaitu bahwa sayyidina Umar bin Khattab pernah mengajak sayyidina Ibnu Abbas ikut perkumpulan bersama para sahabat senior (Sahabat yang ikut perang Badar).

Bagaimana Bisa diragukan Kealimannya?

Dalam perkumpulan tersebut, tiba-tiba ada seorang sahabat yang bertanya kepada sayyidina Umar, “Kenapa engkau mengajak anak ini ke perkumpulan, padahal kami punya anak yang sebaya dengannya?”, Umar menjawab: “Sesungguhnya anak itu mempunyai kecerdasan tersendiri seperti yang telah kalian kenal”.

Ibnu Abbas berkata: “Sebenarnya aku tahu, bahwa tidak ada maksud lain Umar memanggilku, kecuali untuk memperlihatkan aku pada mereka”. Umar bertanya kepada mereka: “Bagaimanakah pendapat kalian berkenaan dengan ayat ini: ‘Idzaa Jaa`A Nashrullahi Wal Fath?”. Sebagian dari mereka menjawab: “Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan meminta maghfirah-Nya, yakni ketika kita diberi pertolongan dan kekuatan untuk menaklukkan suatu negeri”. Lalu sebagian yang lain diam tak berkata sepatah kata pun.

Setelah itu, Umar bertanya kepadaku: “Apakah seperti itu juga pendapatmu wahai Ibnu Abbas?”. Aku menjawab: “Tidak”. Umar bertanya lagi: “Lalu bagaimanakah pendapatmu?”. Aku menjawab: “Hal itu terkait dengan ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah telah memberitahukan pada Sayyidina Umar. Firman Allah: Idzaa Jaa`A Nashrullahi Wal Fath Itu adalah alamat akan ajalmu. Fasabbih Bihamdi Rabbika Was Taghfirhu Innahu Kaana Tawwaabaa (Karena itu, sucikanlah Tuhan dengan memuji-Nya. Dan mintalah ampunan dari-Nya, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat)”. Umar berkata: “Tidak ada jawaban yang lebih tepat, kecuali apa yang telah kamu katakan”.

Dari cerita ini bisa diambil pelajaran, bahwa tidak boleh menganggap remeh seseorang atau meragukan keilmuan orang yang lebih muda dari kita. Bisa jadi pengalaman dan pelajaran yang mereka dapatkan lebih besar dari apa yang kita miliki.

Wallahu A’lam.

By Fikrul Horri

Mahasantri Darus-Sunnah Semester 3