Alquran

Allah swt berfirman :

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ۚ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya : Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al Ankabut : 21).

Perjalanan wisata atau yang terkenal dengan travelling pada dasarnya bukan hanya tentang bersenang-senang atau bersuka ria. Ketika seseorang membuka cakrawala pengetahuannya, banyak sekali hal-hal kecil yang sangat bernilai kita sepelekan begitu saja.  Perjalanan wisata bisa menjadi media untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan melakukan perjalanan yang bersentuhan dengan fenomena-fenomena alam sekitar, sehingga dapat memicu rasa kagum akan ciptaan-Nya.

Perkembangan Cara Pandang Travelling

Memang dalam perkembangannya  perjalanan wisata dikenalkan pertama kali oleh bangsa Romawi dengan hanya sebatas melakukan bersenang-senang semata. Motif tersebut jauh dari kata mengindahkan ayat-ayat Allah Swt. Kenikmatan memandang dalam rangka mengenal Tuhan sang pencipta-pun telah diabaikan. Hal ini  menunjukkan bahwa perjalanan mereka tidaklah membawa manfaat apapun tetapi hanya membuang waktu semata bahkan dapat memicu kerusakan terhadap alam yang mereka lalui.

Di sinilah penulis ingin mengenalkan arah baru yang dapat mendatangkan manfaat. Setidaknya nilai-nilai etis maupun etika tidak terabaikan, sehingga dapat menyadarkan perihal tersebut ketika dalam perjalanan, bahwa ada nilai atau ladang pahala yang dapat kita raih sebagai peningkatan iman kita kepada Allah swt.

Perjalanan Wisata dalam al-Quran

Berkaitan dengan perjalanan wisata, Sebagian ulama tafsir ada yang mempopulerkannya dengan istilah “saihun” yang terambil dari masdarnya “siyahah” yang berarti perjalanan wisata, pengembaraan, dan lain sebagainya.

Dalam surah At-Taubah (9) : 112,

التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Kata “Saihun” menurut Muhammad Rasyid Ridha adalah mereka yang melakukan perjalanan di muka bumi dalam rangka mendidik kehendak dan memeperhalus jiwa mereka. Sedangkan  menurut Imam Fakhruddin Al Razi, mufasir yang terkenal dengan kitab Mafatih al Ghaib-nya (1865-1935), beliau menjelaskan bahwa “Perjalanan wisata mempunyai dampak yang sangat besar dalam rangka menyempurnakan jiwa manusia. Karena dengan perjalanan itu, ia mungkin memperoleh kesulitan dan kesukaran. Ketika itulah ia sedang mendidik jiwanya untuk bersabar.

Mungkin juga ia menemui orang-orang terkemuka, sehingga ia dapat memperoleh dari mereka hal-hal yang tidak dia miliki. Selain itu ia juga dapat menyaksikan aneka ragam perbedaan ciptaan Allah. Walhasil, perjalanan wisata mempunyai dampak yang kuat dalam kehidupan seseorang.”

Menarik untuk kita cermati bahwa menyempurnakan jiwa manusia bisa berarti terpenuhinya kenikmatan jasmani dan rohani. Pada sisi jasmani, tentunya orang yang sedang perjalanan wisata secara psikologis akan sangat gembira, bahkan indikatornya dengan ukuran oksigen yang dia hirup di luar rumah cenderung lebih alami dan segar daripada yang di dalam rumah saja. Belum lagi penglihatan kita, alam suguhi dengan berbagai macam fenomena yang tidak akan ada habisnya dalam menjelaskan kekuasaan Allah swt.

Fungsi Perjalanan Wisata menurut al-Quran

Di samping itu sisi rohani juga dapat merasakannya sehingga dapat membentuk religiusitas semakin mantap sehingga jiwanya menjadi sehat atau Qalbun Salim. Adapun nilai yang dapat kita ambil adalah sebagai berikut:

1. Melatih kesabaran

Kata sabar sering dikaitkan dengan suatu cobaan. Sabar memiliki rujukan makna yang berlimpah, seorang sufi mendefinisikan sabar sebagai sebuah ketahanan diri menghadapi keadaaan tanpa gusar dan tidak mengeluh.

Jika kita cermati, melakukan suatu perjalanan tidaklah mudah bahkan bisa dibilang cukup beresiko, karena memungkinkan seseorang merasakan kesulitan atau kepayahan. Sedikit arah pandangan yang kita ketahui bahwa selama perjalanan kita tidak dapat membawa seluruh harta yang dimiliki, artinya kita butuh persiapan atas segala perkiraan yang benar-benar matang. Kita mungkin saja akan mengeluh perjalanan terasa lama, merasakan kelaparan, mengalami kecelakaan atau bahkan yang dapat menyebabkan meninggal dunia dalam perjalanan. Bukankah itu bentuk miniatur cobaannya?

Disitulah letak sabar bekerja, yakni kuat menjalankan kepahitan dengan wajah tersenyum. Ketika kita dapat bersabar, sama artinya jiwa kita kuat atau tidak mudah patah semangat.

2.  Menyambung Silaturahim

Terkait substansi silaturahim, M. Quraish Shihab menjelaskan dalam bukunya dengan mengutip sabda Rasulullah saw: “Bukanlah bersilaturahim orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi bersilaturahim adalah menyambung apa yang terputus” (H.R. Bukhari). Apa yang termaktud dalam hadis tersebut bisa kita simpulkan bahwa ini merupakan hablum minannas.

Sebagai manusia yang tak luput dari dosa, terkadang kita juga membuat kesalahan yang berujung terputusnya hubungan. Namun tanpa kita sadari, melakukan perjalanan wisata menempatkan kita dalam suatu wilayah tertentu. Momen tersebut bisa menjadi tempat silaturahim kepada saudara, teman atau sahabat yang sedang dalam satu wilayah yang sama dengan sebuah pertemuan. Pertemuan itulah yang dapat menyambung apa yang telah terputus atau kita sebut silaturahim.

3. Menambah Wawasan dan Pengalaman

Setiap perjalanan kita akan berjumpa dengan alam raya dan seisinya yang dapat kita pelajari atau dalam istilah ilmu al-Quran menyebutnya ayat kauniyyah.  Hal ini dapat kita rasakan dengan memperhatikan setiap fenomena-fenomena alam yang begitu indah dan teratur di sekelumit terjadinya. Ayat-ayat ini menurut M. Quraish Shihab secara bahasa memiliki arti tanda, dalam artian rambu perjalanan menuju Allah swt. tanda tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik kecuali didengar dan dipandang, baik dengan mata hati maupun mata kepala.

Al-Quran sangat menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan bagi kehidupannya. Pada dasarnya kita bisa mengambil ibrah bahkan dari seekor nyamuk (Lihat Q.S. Al Baqarah : 26) yang mungkin dianggap hal kecil atau sepele juga, dan masih banyak lagi isyarat atau petunjuk lainnya. Semakin kesadaran berdialog dengan “sekitarnya”, semakin bertambah pula wawasan dan pengalamannya.

Wallahu A’lam bis-Shawwab..