majalahnabawi.com – Kebanyakan orang meyakini bahwa sosok pemahat sekaligus penyembah berhala bernama Azar adalah ayah kandung Nabi Ibrahim As. Agaknya, stigma keliru ini lahir dari mereka yang membaca lalu memahami ayat al-Quran secara tekstual. Tanpa adanya penelitian lebih lanjut seperti membaca kitab-kitab tafsir, sejarah kenabian, dan bacaan mumpuni lainnya.

Lebih parahnya, mereka mewariskan pemahaman ini kepada anak-anak mereka sedari dini. Kabar bagus jika mereka akhirnya mengetahui kebenaran hal tersebut melalui studi yang ditempuh. Adapun ayat Quran yang mengandung percakapan Nabi Ibrahim dengan bapaknya adalah:

إِذْ قَالَ لِأَبِيْهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِْي عَنْكَ شَيْئًا

Ketika nabi Ibrahim berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” (Q.S Maryam: 42)

Definis Lafadz أَب

Lafadz أَب pada ayat di atas baiknya kita telaah lagi, apakah makna yang dimaksud benar bermakna ayah kandung, bapak, paman, atau bahkan kakek. Dalam KBBI, kata bapak merupakan panggilan bagi laki-laki yang dalam tali kekeluargaan setara dengan ayah. Sedangkan ayah, merupakan sapaan bagi orang tua kandung (biologis) laki-laki.

Karena, redaksi bahasa Arab digunakan dengan mengandung beberapa makna lain (majazi). Artinya, tidak menutup kemungkinan bahwa Azar yang disebut-sebut, ternyata bukanlah ayah kandung (biologis) nabi Ibrahim. Di sinilah, pentingnya paham kontekstual dalam menggali makna sebuah hadis, sebagaimana ditulis oleh KH. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya al-Thuruq al-Shahihah fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah.

Menurut Muhammad Rawas dalam kitabnya “Mu’jam Lughah al-Fuqaha’”: “Kata الْأبَاء merupakan bentuk plural (jamak) dari kata أَب yang bermakna وَالِد (orang tua) “Ayah secara biologis (father)”. Maka, jika maknanya orang tua (ayah) makna kakek/leluhur juga masuk ke dalam lafadz أَب. Meski terkadang, makna “paman” secara majazi (konotasi) juga menggunakan lafadz أَب.”

Maka, paham sebenarnya dari ayat di atas merupakan makna konotasi (majazi) dari kata أَب yaitu “paman”.

Paman Konotasi Dengan Abb

Adapun dalil bahwa “paman” memang layak dikonotasikan dengan ungkapan أَب, adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dalam Sunan al-Tirmidzi:

ثُمَّ قَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ آذَى عَمِّيْ فَقَدْ آذَانِيْ فَإِنَّمَا عَمُّ الرَّجُلِ صِنْوُ أَبِيْهِ»

Kemudian Rasulullah bersabda: “Wahai manusia! Barangsiapa menyakiti pamanku, berarti ia telah menyakitiku, karena paman bagi seseorang adalah saudara kandung (padanan) ayahnya.”

Hadis ini merupakan hadis Hasan Shahih, dan ada dalam bab “مَنَاقِبُ عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِّبِ“. Rasulullah melakukan pembelaan tegas terhadap siapa saja yang berani menyakiti pamannya dengan menyatakan ‘seakan-akan dia menyakiti hatiku’. Redaksi ini, mengandung perintah tersirat bahwa kita harus memuliakan dan menghormati paman kita sebagaimana perlakuan kita terhadap ayah sendiri.

Dalilnya, dalam surat al-Baqarah ayat 133:

قَالُوْا نَعْبُدُ إِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَآئِكَ اِبْرَاهِيْمَ وَإِسْمَاعِيْلَ وَإِسْحٰقَ

Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak

Jelas sekali bahwa maksud الأباء di ayat tersebut bukanlah ayah ataupun kakek melainkan ‘paman’. Karena Ismail merupakan paman Yaqub, bukan Yaqub.

Akhirnya, lafadz أَب dalam ayat di atas bukanlah ayah kandung melainkan paman. Lalu, siapa sebenarnya sosok Azar yang digadang-gadang sebagai ayah nabi Ibrahim? Mari kita perhatikan ayat di bawah ini:

إِذْ قَالَ لِأَبِيْهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِيْ عَنْكَ شَيْئًا

(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?”. (Q.S Maryam (19): 42)

Azar Nama Benda

Dalam kitab “Qishshah al-Anbiya wa Ma’aha: Sirah Rasul Saw”, Syekh Muhammad Sya’rawi menjelaskan: “Dalam kata لِأَبِيْهِ , al-Quran tidak menyebutkan إِسْمُ الْعَلَم yang menunjukkan nama orang, yang diperuntukkan bagi orang tua atau ayah nabi Ibrahim. Selanjutnya, lafadz أَب di sini menunjukkan sifat, namun nama ayahnya belum diketahui”.

Selanjutnya, mungkinkah jika Azar sebenarnya bukan nama bagi identitas seseorang? Melainkan justru nama benda? Rupanya, Allah menuliskan kata ‘Azar’ dalam firman-Nya surat Al-An’am ayat 74:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ لِأَبِيْهِ ءَازَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا ءَالِهَةً ۖ إِنِّىٓ أَرَىٰكَ وَقَوْمَكَ فِيْ ضَلَالٍ مُّبِيْنٍ

Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata“.

Ternyata, kata Azar disebutkan tepat setelah kata أَب, yang bukan berarti penjelas nama dari kata sebelumnya. Imam al-Dhahhak meriwayatkan dari sayidina Ibnu Abbas dalam Tafsir Ibnu Katsir: “Ayah Ibrahim itu bukan Azar, tetapi nama ayahnya adalah Tarih”. Beliau juga menambahkan bahwa maksud ayat {وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ لِأَبِيْهِ آزَرَ}, Azar bukanlah nama ayah atau pamannya tetapi justru nama patung. Ibunya bernama Matsani, nama istri Ibrahim adalah Sarah, dan ibunya Ismail adalah Hajar.