hukum

Majalahnabawi.com – Hukum islam memang selalu berkesinambungan dengan berbagai kejadian dan kegiatan sehari-hari di masyarakat. Tidak terkecuali dengan pemerintah, yang memiliki banyak wewenang serta kekuasaan di atas masyarakat. Dengan wewenang serta kekuasaan pemerintah inilah yang kemudian dapat melahirkan keputusan-keputusan sepihak. Lalu bagaimana hukumnya jika pemerintah menjalankan sebuah proyek yang dapat merugikan masyarakat dengan mengambil hak nya? Apakah bisa dikatakan ghosob? Atau ‘iwadh? Atau sulh? Atau sejenisnya?.

Salah satu proyek pemerintah yang kita bahas adalah mengenai pembangunan jalan tol. Dalam proyek ini, pemerintah diberikan pembebasan lahan untuk dibangun sebuah jalan tol maupun perluasan jalan untuk kepentingan umum.

Penggusuran oleh pemerintah

Lahan tersebut tidak jarang merupakan wilayah yang ditempati penduduk dalam waktu lama serta memiliki sertifikat lahan yang sah.

Walaupun sertifikat tersebut sah, pemerintah diberikan wewenang untuk mengambil paksa lahan yang akan dijadikan proyek.

Dengan dalih jual beli sertifikat, kemudian penduduk wilayah tersebut diberi uang sebagai ganti rugi melalui musyawarah.

Namun tentunya itu masih sangat merugikan penduduk di wliayah tersebut, karena harus kehilangan kebutuhan primer mereka yaitu papan atau tempat tinggal. Lalu bagaimanakah hukum praktek tersebut dalam islam?.

Dalam hukum islam, ada bab mauamalat yang menerangkan tentang pengambil alihan suatu hak kepemilikan, diantaranya ghosob, ‘iwadh, dan sulh. Bagaimana cara membedakannya? kita harus memahami pengertiannya terlebih dahulu.

Dalam  kitab Fathul Qarib, ghosob secara bahasa berarti mengambil sesuatu secara zhalim dengan cara terang-terangan. Secara syara’, ghosob adalah menguasai hak orang lain dengan cara zhalim.

Melalui pemahaman ini, proyek pembebasan lahan oleh pemerintah dapat dikatakan ghosob apabila cara pengambilannya dilakukan dengan zhalim atau tidak pada tempatnya.

Artinya, jika pemerintah menguasai lahan penduduk dengan sewenang-wenang dan tidak menghargai hak penduduk lahan tersebut, maka pemerintah sama saja melakukan ghosob. Konsekuensinya, yaitu mengganti barang yang dighosob dengan yang harganya lebih, dan jika ada kerusakan maka harus menggantinya dengan yang baru.

Kemudian ‘iwadh, dalam bab jual beli dijelaskan dalam kitab At-Tadzhib disebut dengan tsaman atau harga. Dalam setiap proses akad jual beli, maka haruslah ada ‘iwad-nya.

Praktek pengambil alihan lahan oleh pemerintah ini juga termasuk akad jual beli, jika antara pemerintah dan panduduk saling ada kesepakatan tentang lahan yang akan diambil alih. Maka dalam masalah ini yang disebut dengan ‘iwadh adalah rumah penduduk yang diganti dengan sejumlah uang oleh pemerintah.

Kemudian pengertian sulh dalam kitab Fathul Qarib secara bahasa yaitu memutuskan perseteruan (damai). Secara syara’, sulh adalah akad yang memutuskan perseteruan.

Dalam proyek pembebasan lahan oleh pemerintah ini sering terjadi perseteruan antara pemerintah dan pemilik lahan. Perseteruan ini biasanya terjadi karena pemilik lahan yang tidak terima dengan keputusan pemerintah yang sewenang-wenang.

Untuk menyelesaikan perseteruan tersebut, maka dilakukakan musyawarah diantara keduanya. Bentuk sulh (memutuskan perseteruan) ada dua jenis:

  • Sulh ibra’, yaitu mengambil sebagiannya saja dan sebagian lagi dibebaskan. Sulh ini tidak boleh atau tidak sah jika digantungkan dengan syarat. Artinya, sulh ini bisa sah jika tanpa adanya suatu syarat.
  • Sulh mu’awadah, yaitu berpindahnya hak kepada orang lain. Pada sulh ini berlaku hukum jual beli, artinya sulh ini sah. Seperti menjual hak miliknya dengan diganti sesuatu yang lain untuk berdamai.

Dari dua jenis sulh tersebut, kasus yang tejadi antara pemerintah dan pemilik lahan bisa dikatakan sulh mu’awadah. Karena pemilik lahan meminta sejumlah uang sebagai ganti untuk perdamaian diantara mereka dalam pengambil alihan hak kepemilikan lahan.

Jadi, setelah kita memahami ketiga hukum diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa, proyek pembebasan lahan oleh pemerintah dalam hukum islam lebih condong dikategorikan sebagai sulh mu’awadah.

Artinya, sah sah saja jika pemerintah melakukan pembebasan lahan. Akan tetapi jika cara yang dilakukan oleh pemerintah tidak sesuai dan bersifat sewenang-wenang serta memaksa, maka bisa dikategorikan ghosob.

Setelah menganalisis beberapa kasus pembebasan lahan di Indonesia, banyak diantaranya kasus-kasus yang mengkategorikan bahwa proyek pemerintah ini tidak sah.

Dari beberapa kasus, pemerintah telah memulai proyek nya bahkan sudah selesai namun pemilik lahan belum menerima ganti rugi yang dijanjikan, bahkan benyak diantaranya melahirkan koruptor-koruptor dalam proyek ini.

Kemudian beberapa kasus juga, ganti rugi yang diberikan pemerintah tidak sesuai dengan harga normal dan tidak menggunakan hukum yang ada di Indonesia, sehingga warga protes dan merasa haknya dirampas.

Oleh karena itu, pembebasan lahan oleh pemerintah di Indonesia masih banyak yang dikategorikan ghosob. Walaupun ada beberapa proyek yang berjalan dengan lancar dan sesuai hukum, namun itu hanya sedikit dari banyaknya kasus protes warga dalam pembebasan lahan.

By Nisaul Kharimah

Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta