ilmu

Majalahnabawi.com – Perlu diketahui bahwa semua ilmu yang dipelajari oleh para santri/mahasantri maupun pelajar muslim lainnya, dari mulai Bahasa Arab, Al-Qur’an – Ulumul Qur’an, Al-Hadis – Ulumul Hadis, Tauhid – Ilmu Kalam, Fiqih – Ushul Fiqh, Tarikh, Akhlak – Tasawuf, Mantiq dan ilmu lainnya, itu hanyalah suatu ilmu yang merupakan alat untuk mencapai ilmu yang sesungguhnya yaitu Ilmu Hakikat dan Hakikat Ilmu. Apa itu? Yaitu mengetahui sebuah fakta bahwa makhluk itu adalah makhluk dan Tuhan itu adalah Tuhan.

Saat manusia memahami itu yang dilakukannya sebagai makhluk adalah penghambaan dan penyerahan diri secara total kepada Tuhan, inilah yang dinamakan dengan ‘ubudiyah yang merupakan konsep penting dari tujuan hidup manusia.

Sifat ‘ubudiyah (kehambaan) ialah patuh dan taat terhadap semua perintah dan menjauhi semua larangan dengan melaksanakannya tanpa membantah maupun merasa keberatan.

Sekarang, apa pengertian ibadah itu? Seorang ulama terkenal bernama syekh al-Syarif Ali Al-Jurjani (w. 1414 M) dalam kitabnya At-Ta’rifat menjelaskan:

الْعِبَادَةُ هِيَ فِعْلُ الْمُكَلَّفِ عَلَى خِلَافِ هَوَى نَفْسِهِ تَعْظِيْمًا لِرَبِّهِ

“Ibadah ialah perbuatan seorang mukallaf (orang yang akil, balig) yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya demi mengagungkan Tuhannya.”

Sayyid Abul A’la Al-Maududi (ulama dari Pakistan) (w. 1979 M) dalam bukunya yang berjudul “Toward Understanding Islam” mendefinisikan ibadah sebagai berikut:
(All your activities and your entire life are ibadah if there accordance with the law of God)
Semua aktivitas Anda dan seluruh hidup Anda adalah ibadah jika itu sesuai dengan hukum Tuhan.”

Ubudiyah dan ibadah sering diartikan sebagai: melaksanakan perintah-perintah Allah dan merasa hina serta tunduk di hadapan-Nya.

Meski keduanya memiliki pengertian yang sama oleh sebagian orang, namun sebagian lain menyatakan bahwa kedua kata ini berbeda artinya sebagaimana halnya kedua hal tersebut berbeda dalam bentuknya.

‘Ubudiyah merupakan bentuk nyata dari ketunggalan (hakikatnya adalah Allah semata) serta melakukan penghambaan kepada-Nya. Sedangkan ibadah adalah bentuk nyata menuhankan, mengesakan serta melaksanakan amalan-amalan syariat yang telah diperintahkan.

Dengan demikian, pengertian ibadah itu sangat luas baik menyangkut ibadah yang bersifat khusus seperti salat, zakat, puasa dan haji, dan juga ibadah yang bersifat umum seperti segala kebaikan yang dilaksanakan karena Allah dan sesuai dengan apa yang telah disyariatkan-Nya.

Dan pada kesempatan ini, penulis tidak akan membahas secara lebih jauh apa saja perbedaan antara keduanya, akan tetapi penulis akan memfokuskan bahasan pada persamaan di antara keduanya baik dari segi eksistensi maupun yang lainnya.

Jika kita perhatikan firman Allah yang bertaburan di dalam Al-Qur’an serta sabda Rasulullah ﷺ yang tertuliskan di dalam kitab hadis, tentu saja banyak sekali yang menyinggung seputar masalah ibadah, diantaranya yaitu:

1. Manusia diciptakan hanya untuk beribadah

Sebagaimana Allah Swt. berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Az-Zariyat [51]: 56)

2. Beribadah itu tidak boleh berhenti begitu saja kecuali setelah ajal tiba

Sebagaimana Allah Swt. berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ

“Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (Q.S. Al-Hijr [15]: 99)

3. Orang yang enggan dalam beribadah tentu saja diancam akan dimasukan ke dalam neraka jahannam 

Sebagaimana Allah Swt. berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ

“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Q.S. Gafir [40]: 60)

4. Beribadah itu hendaknya serius, tidak boleh asal-asalan

Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَّمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Kamu menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya dan bila kamu tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Bukhari no. 50, Muslim no. 8, Abu Dawud no. 4695, An-Nasai no. 4990)

Dalam kehidupan sehari-hari, tentunya pasti ada orang yang masih mengerjakan ibadah itu secara labil. Misalnya jika sedang mengalami kesulitan yang sulit untuk di atasi oleh diri sendiri, barulah ia teringat kepada Allah, dengan tujuan agar ia bisa terlepas dari kesulitan itu.

Kemudian jika ia sudah terlepas dari kesulitan itu dan mendapatkan kelapangan serta kenikmatan dari-Nya, maka akhirnya ia malah lupa kepada Allah sehingga ia melalaikan atau bahkan meninggalkan ibadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana telah disinggung oleh Allah dalam firman-Nya:

وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَىٰ بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ

Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong); tetapi apabila ditimpa malapetaka maka dia banyak berdoa.” (Q.S. Fussilat [41]: 51)

Namun ada juga yang sebaliknya, yaitu apabila sedang mendapatkan kenikmatan dari Allah ia tetap beribadah dengan tekunnya, kemudian jika suatu saat ia ditimpa musibah, ia malah berhenti beribadah kepada Allah bahkan ia pun mengkufuri-Nya. Hal ini pun telah disinggung oleh Allah dalam firman-Nya:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (tidak dengan penuh keyakinan), maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang (kembali kafir lagi). Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.” (Q.S. Al-Hajj [22]: 11)

Oleh karena itu, alangkah baiknya kita sebagai muslim hendaknya senantiasa beribadah kepada Allah itu dengan konsisten (istiqamah) kapan pun serta dimana pun kita berada.

Orang yang mempunyai prinsip hidup demikian tentunya ialah orang yang beruntung. Karena ketika ia hidup di dunia, ia akan mendapatkan ketenangan, kebahagiaan serta jauh dari rasa takut maupun kesedihan. Sedangkan nanti di akhirat, kelak ia akan menjadi penghuni surga yang penuh keabadian. Sebagaimana Allah berfirman:

إِنََّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka tetap istiqamah, tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati. Mereka itulah para penghuni surga, kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Ahqaf [46]: 13-14)

Itulah ilmu yang yang harus diketahui oleh kita sebagai manusia. Saat mengetahui itu, maka kita akan mengetahui hakikat ilmu, hakikat kehidupan dan hakikat diciptakannya di alam semesta ini, yakni “Li ya’budun” (untuk beribadah kepada Allah). Jangan sampai kesibukan pada ilmu alat itu melalaikan kita untuk memahami ilmu hakikat dan hakikat ilmu.

Diakhir tulisan ini, marilah kita berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang senantiasa konsisten dalam beribadah kepada-Nya, sehingga kita dapat meraih keselamatan dan kebahagiaan baik itu di dunia maupun di akhirat.

By Muhammad Faiz

Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah wal 'Arabiyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences