MajalahNabawi.com- Perbedaan merupakan sunnatullah yang tidak dapat dihindari. Dengan adanya perbedaan hidup justru menjadi lebih berwarna dan lebih beragam. Bahkan, jika kita hanya disuguhkan suatu persamaan yang konstan tanpa tersentuh dinamika perubahan dapat dipastikan lebih dari sejuta orang yang merasa bosan akan kehidupan.

Perbedaan adalah Keniscayaan

Rasulullah saw. sendiri memberikan contoh bahwa perbedaan adalah suatu hal yang Allah tetapkan. Dalam kitab Shahih Bukhari, bab shalat al khauf, nomor 946 terdapat redaksi:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ : ” لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ “. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ : لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ : بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ.

Dari ibnu Umar ra. ia berkata : baginda nabi S.A.W bersabda “Janganlah seorangpun shalat ashar kecuali di bani quraidhah”. Maka sebagian dari mereka menemukan waktu ashar (hampir habis) di perjalanan. Maka sebagian dari mereka berkata : kita tidak akan shalat sampai kita datang kesana (bani quraidhah). Dan yang lainya berkata : tidak!, kita shalat (disini), bukan itu yang rasul maksud. Maka hal tersebut diceritakan kepada baginda Nabi S.A.W, dan nabi tidak mencela salah satu dari mereka. 

Berdasarkan Hadis ini, para ulama kemudian merumuskan teori “nadhariyah taswibiyyah” Di mana kedua pendapat yang berbeda ini, keduanya dianggap benar.

Sebab Perbedaan

Sebab perbedaan ini terjadi, tidak lain adalah perbedaan kedua sahabat nabi dalam memahami perkataan baginda nabi. Dari sini, bisa kita simpulkan bahwa pada dasarnya kedua sahabat nabi ini sama. Sama-sama berusaha memahami perkataan baginda nabi, sama-sama mematuhi perintah nabi, sama-sama cinta sunnah nabi.

Kasus yang serupa, bisa kita temui pada masa sekarang. Contohnya pada kaum tekstual yang memahami hadits berdasarkan teks hadits tanpa diutak-atik. Dan kaum kontekstual yang memahami hadits berdasarkan konteks yang ada di dalamnya. Secara kasat mata tentu banyak perbedaan dari mereka, contohnya banyak hal yang diklaim salah satu pihak sebagai “bid’ah” Ketika pihak lainya mengklaim sebagai “sunnah”.

Padahal jika kita selami lebih dalam, se tekstual-tekstualnya kaum tekstual ada beberapa Hadis yang tidak diamalkan secara tekstual. Misal, jenggot memang bukanlah hal yang aneh yang diklaim sebagai sunnah. Tapi di sebagian hadits menjelaskan model rambut nabi seperti jumrah atau rambut yang sampai ke bahu.

Tentu jarang atau bahkan hampir tidak pernah kita temui seseorang yang rambutnya panjang, berjenggot dan mengklaim keduanya sebagai sunnah. Wong yang mengklaim jenggot sunnah rambutnya pendek-pendek toh?.

Antara tekstual dan kontekstua;

Sebaliknya sekontekstual-kontekstualnya kaum kontekstual, ada hal yang mereka pahami secara tekstual. Contohnya jama’ shalat karena hujan. Jika kita lihat pada kondisi di zaman nabi yang lantai masjidnya berupa pasir, belum ada listrik, dan sebagian atapnya terbuka, tentu jika terjadi hujan akan sangat mengganggu.

Berbeda dengan kondisi sekarang yang lantai masjidnya sudah berupa teras, sudah ada listrik, payung dimana-mana. Tapi kendati demikian mereka tetap mengamalkan jama’ mathor ini.

Contoh lainnya, adalah tawassul. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA didalam bukunya “titik temu wahabi NU” Menjabarkan bahwa ada orang yang berpendapat bahwa tawassul adalah memohon kepada Allah dengan menyebut nama orang diyakini mempunyai kedudukan dan derajat di sisi Allah. Dan ada orang yang mengklaim bahwa tawassul mengotori tauhid dan tanzih.

Sama-sama Cinta Sunnah

Terlepas dari benar atau salah, pada dasarnya kedua-duanya sama-sama memuliakan Allah. Yang pertama memuliakan Allah dengan melihat bahwa Allah Maha Tinggi dan Maha Mulia sehingga merasa tidak pantas untuk terang-terangan meminta dan menjadikan orang yang dekat kepada Allah sebagai jembatan penghubung antara dirinya. Dan yang kedua berpendapat bahwa Allah Maha tinggi dan Maha mulia sehingga untuk melarang hal yang menurutnya mengotori tauhid untuk menjaga pengagungan kepada tuhannya.

Dari sini, sekali lagi terlepas dari benar atau salah kedua-duanya sama-sama menisbatkan ke Maha tinggian dan ke Maha Muliaan Allah. Sama-sama berusaha melaksanakan perintah rasulullah, SAMA-SAMA CINTA SUNNAH.

By Trisna Yudistira

Mahasantri Darus-Sunnah 2020 dan Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir 2021