Majalahnabawi.com – Sebelum kita menilik lebih lanjut diferensiasi Ibnu Hibban dalam menata kitabnya, dan difersitas dari metode yang digunakan, baiknya kita membahas biografi Ibnu Hibban sebagai seorang ilmuwam yang mempunyai banyak achievement semasa hidupnya.

Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban Abu Hatim al-Tamimi al-Busti al-Sijistani. “Al-Tamimi” adalah nisbat kepada Tamim, moyang kabilah Arab yang terkenal dan bersambung nasabnya sampai kepada Adnan. Dengan demikian Ibnu Hibban seorang keturunan Arab asli yaitu Arumiyah, hanya saja ia dilahirkan di Afghanistan.

Ibnu Hibban dilahirkan di sebuah kota kuno yang saat itu dianggap sebagai salah satu wilayah Sijistan dan posisinya saat ini masuk ke dalam wilayah Afghanistan. Ibnu Hibban dilahirkan pada tahun 280-an hijriyah. Tidak seorang pun menyebutkan tahun kelahirannya secara pasti. Akan tetapi mereka sepakat bahwa ia meninggal pada tahun 354 H pada usia 80 tahun-an.

Ahli Hadis, Ahli Fikih, Ahli Kalam dan Ahli Ilmu Umum

Ibnu Hibban selain ahli hadis, baliau juga seorang ahli fikih dalam mazhab Syafii dan menjadi qadhi (hakim) dalam waktu yang lama lebih dari satu negeri, di antaranya Nasa, Samarkand, dan lainnya. Selain itu, pula ia ahli dalam bahasa Arab, fasih dalam fikih, ilmu kalam (teologi), hadis, ilmu astronomi, kedokteran dan banyak disiplin ilmu lainnya. Karena itu, Ibnu Hajar berkata, “Dia adalah pemilik berbagai macam ilmu, kepandaian yang melampaui batas, dan hafalan yang luas sampai ke puncak.” Semoga Allah merahmatinya…

Dari bahasan sebelumnya, Ibnu Hibban mendalami ilmu kalam (teologi) dan dia pun terpengaruh pada nalarnya dan memberi warna dalam pemikirannya. Tampak jelas dalam pembagian-pembagian bab-bab, serta metode penataan kitabnya ini berdasarkan qismqism dan nau’-nau’ yang merupakan salah satu buah dari keterpengaruhannya dengan ilmu kalam.

Ia mempelajari ilmu-ilmu Islam kepada banyak ilmuwan terkemuka pada masa itu, seperti al-Nasa’i , al-Hasan bin Sufyan, Abu al-Ya’la al-Musili, al-Husayn bin Idris al-Harawi, Abu al-Khalifa al-Jamhi, Imran bin Musa ibn Madzhashi ‘, Ahmad bin Hasan al-Sufi, Ja’far bin Ahmad al-Dimashqi, Abu Bakar bin Khuzaymah dll. Murid-muridnya termasuk Muhammad bin Manda, Abu Abdullah al-Hakim, dan lainnya.

Shahih Ibnu Hibban dan Sistematikanya

Karya Fenomenal Ibnu Hibban “Shahih Ibnu Hibban” yang dikenal saat ini, sebelum menjadi nama tersebut, judul asli dari kitab ini ialah al-Taqasim wa Al-Anwa`. Nama lengkap kitab ini sesuai yang diberi oleh penulisnya ialah al-Musnad al-Shahih ‘ala al-Taqasim wa al-Anwa` min Gairi Wujud Qath’in fi Sanadiha wa La Tsubut Jarhin fi Naqiliha (Musnad yang shahih berdasarkan pembagian-pembagian dan jenis-jenis tanpa ada keterputusan dalam sanadnya dan tanpa tetapnya cacat pada orang-orang yang meriwayatkannya). Judul kitab ini terdapat pada naskah yang ada di Dar al-Kutub al-Mishriyah.

Ibnu Hibban telah merangkum syaratnya dalam judul kitabnya, “Tanpa ada keterputusan dalam sanadnya dan tanpa tetapnya aib pada orang-orang yang meriwayatkannya. Serta, ia tidak mengambil hujjah padanya kecuali dengan hadis yang terhimpun lima sifat pada setiap syekh yang terdapat dalam mata rantai riwayatnya. Lima sifat tersebut ialah,

a. ‘Adalah (agama dengan kondisi yang bagus atau sifat asli perawi)

b. Kejujuran dalam hadis dengan kemasyhuran dalam hal itu. Wich means berprilaku jujur

apakah hadis itu masyhur ataupun tidak apakah sudah mencapai tingkat mutawatir atau ahad

c. Pemahaman terhadap hadis yang diriwayatkan

d. Pengetahuan tentang apa yang dapat mengalihkan makna-makna hadis yang ia riwayatkan.

e. Khabarnya terlepas dari tadlis.

Ia berkata, “Setiap orang yang padanya terkumpul lima sifat ini, maka dapat berhujjah dengan hadisnya dan mengutip riwayatnya. Setiap orang yang terlepas dari salah satu sifat yang lima ini, maka tidak dapat diambil hujjah darinya.”

Metode Diferensiasi

Dalam menata kitabnya, Ibnu Hibban menganut sebuah metode diferensiasi yang dihasilkan oleh nalarnya yang diwarnai dengan kemampuan untuk menyusun dan berkreasi, dan diprogram dengan ilmu ushul dan ilmu kalam. Sesuatu yang mendorongnya tidak lain ialah ingin membawa manusia untuk menghafal Sunnah. Dia tidak mendapatkan strategi dalam hal itu kecuali dengan membagi sunnah ke dalam qismqism (bagian-bagian).

Setiap qism mencakup nau’ (jenis-jenis) dan setiap nau’ mencakup hadis-hadis. Maksudnya dalam hal ini ialah adalah mengikuti penataan al-Quran. Sebab, al-Quran terdiri dari juz-juz. Setiap juz mencakup surah-surah, dan setiap surah mencakup ayat-ayat.

Sebagaimana sulit bagi seseorang untuk mengetahui tempat ayat tertentu dalam al-Quran kecuali dengan menghafal seluruh ayat, maka demikian pula sulit baginya untuk mengetahui hadis tertentu di dalam kitabnya apabila dia tidak pernah bermaksud untuk menghafalnya.

Ibnu Hibban membagi qism tersebut ke dalam lima qism yang sama, dengan pembagian yang serasi dan tidak saling bertentangan, yaitu:

a) Pertama, perintah-perintah; yang diperintahkan oleh Allah kepada hamba-Nya memuat 110 bab;

b) Kedua, larangan-larangan; yang dilarang oleh Allah bagi hamba-Nya memuat 110;

c) Ketiga, pemberitahuan Allah tentang apa-apa yang perlu diketahui memuat 80 bab;

d) Keempat, sunnah adalah sesuatu yang boleh dikerjakan memuat 50 bab;

e) Kelima, perbuatan-perbuatan Nabi yang hanya dikerjakan oleh beliau memuat 50 bab.