Suatu ketika, Hisyam bin Abdul Malik pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setibanya di sana, ia meminta agar dipertemukan dengan sahabat yang masih hidup. “Mereka telah tiada”, jawab salah seorang ajudannya. “Kalau begitu, tabi’in saja,” pinta Hisyam bin Abdul Malik.

Maka didatangkanlah Thawus al Yamany, salah seorang sahabat terdekat Ibn Abbas yang terkenal faqih dan ahli hadis. “Assalamu’alaikum, Hisyam” sapa Thawus. Alih-alih menyapanya dengan salam takzim, Thawus justru menganggapnya biasa saja. Tanpa mengacuhkan standar protokol kerajaan, ia melepas sandal lalu duduk di hadapan Hisyam bin Abdul Malik. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Thawus santai memulai pembicaraan.

“Kubunuh kau!” ancam Hisyam bin Abdul Malik penuh kemarahan melihat tingkah Thawus yang dianggapnya kurang ajar. Protokol kerajaan memang mengatur bahwa seorang tamu selayaknya menunggu khalifah memulai pembicaraan, bukan sebaliknya. “Ah, kau di tanah suci. Tak mungkin kau melakukannya,” tepis Thawus.

Hisyam bin Abdul Malik gelagapan. Setelah sejenak menenangkan diri, dia bertanya “kenapa kau melakukan semua itu?” Tanpa merasa bersalah Thawus menanggapinya “memang apa yang kulakukan?”

“Pertama, kau melepas kedua sandalmu. Lalu kau tak mencium kedua tanganku sebagai bentuk khidmat. Kau menyebut namaku dalam salam tanpa menyertakan gelar “Amirul Mukminin”. Bahkan, kau sama sekali tidak menyebut kunyah* sebagai bentuk penghormatan. Terakhir, dengan beraninya kau duduk di hadapanku tanpa izin!” jelasnya.

“Begini,” Thawus mulai membela diri “dalam sehari, aku melepas sandal lima kali. Semua kulakukan saat shalat, ketika aku bersujud pada Allah. Dia sama sekali tak pernah marah padaku karena itu.

Kenapa aku tak mencium tanganmu? Aku mendengar Sayyidina Ali berkata “Seorang pria tak boleh mencium tangan siapapun selain tangan istri sebab berhasrat padanya dan tangan anaknya sebab rasa sayang”. Karena itu, aku tak mencium tanganmu.

Kenapa aku harus memanggilmu dengan sebutan “Amirul Mukminin”? Apakah semua orang rela atas penunjukanmu sebagai Amir, pemimpin? Kurasa tidak. Sebab itu, tak perlu aku memanggilmu Amirul Mukminin.

Dalam Al Qur’an, Allah memanggil para Rosul terkasih-Nya sesuai namanya, “Wahai Muhammad”, “Wahai Yahya”, “Wahai Isa”, dan sebagainya. Namun sebaliknya, ketika Dia menyebut musuh-Nya, pasti dengan julukan. Misalnya “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!” (Q.S. 111:1). Karena itu aku tak memanggilmu dengan kunyah.

Terakhir, kenapa aku duduk di hadapanmu, padahal protokol kerajaan mengatur setiap tamu untuk berdiri di hadapanmu? Aku mendengar Sayyidina Ali berkata “Jika kau ingin tahu ciri-ciri ahli neraka, lihatlah orang yang duduk saat orang lain di sekelilingnya berdiri.” Jelas Thawus panjang lebar.

“Hmm…” Hisyam bin Abdul Malik mengangguk berkali-kali. “Baiklah, beri aku nasehat” pinta Hisyam bin Abdul Malik.

“Aku mendengar Sayyidina Ali berkata “Sesungguhnya di Neraka Jahanam terdapat ular sebesar tiang dan kalajengking sebesar bagal yang menyengat para pemimpin yang tidak adil.” Ucap Thawus lantas berdiri dan pergi.

*Kunyah: Julukan yang disematkan pada nama seseorang dengan disertai “Abu/Ummu/Ibn”.