Kodeks Utsmani Sebagai Pelestarian Al-Qur’an
Majalahnabawi.com – Al-Qur’an merupakan wahyu yang Allah berikan kepada Rasulullah melalui malaikat Jibril secara mutawatir dan sudah terjamin pelestariannya oleh Allah Swt. Allah berfirman dalam surah al-Hijr ayat 9
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِ نَّا لَهٗ لَحٰـفِظُوْنَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.”
Bagi umat islam, sangatlah penting untuk menjaga pelestarian terhadap Al-Qur’an. Pelestarian Al-Qur’an bisa melalui hafalan atau rekaman tertulis. Pelestarian dengan cara tertulis dilakukan secara bertahap. Tahap terakhir berada pada era khalifah ketiga yaitu Utsman bin Affan (w. 35 H) melalui proses yang berbeda dengan yang lain.
Era Pra Utsmani
Pada masa Abu Bakar, kompilasi hanya tersimpan dan umat islam terus membacanya sesuai dengan caranya tersendiri menurut salinan pribadi Al-Qur’an yang mereka miliki. Namun,mengikuti kondeks pada masa Utsman, salinan-salinan Al-Qur’an banyak mulai tersebar ke beberapa kota besar Islam. Setiap manuskrip Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan salinan era Utsman tersebut maka akan dibakar atau dikoreksi.
Dalam urain tentang kompilasi kondeks utsmani, Al-Baghawi menjelaskan bahwa dalam upaya menyatukan umat islam di atas satu teks, Utsman Menyusun Al-Qur’an menurut arf (cara membaca) untuk mengurangi perbedaan. Kemudian para sahabat Rasulullah biasa membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf yang diajarakan Rasulullah kepada mereka dengan izin Allah.
Penyebab Kodeks Utsmani
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan kemudia Utsman bin Affan, kerajaan islam meluas dari daerah Afrika Utrara ke Asia Tengah hingga perbatasan Benua India. Sebagian besar masyarakat muslim baru membutuhkan orang-orang yang bisa mengajari mereka Al-Qur’an. Karena ini, para sahabat memilih orang-orang yang pintar dalam membaca Al-Qur’an untuk melakukan perjalanan ke berbagai negeri yang jauh untuk mengajarkannya.
Banyak dari kalangan sahabat yang meninggalkan tanah airnya menuju perkotaan untuk menjadi guru Al-Qur’an. Banyak juga para siswa di kota tersebut yang mau belajar membaca Al-Qur’an dari para sahabat tersebut. Namun banyaknya bacaan Al-Qur’an oleh berbagai sahabat menimbulkan kebingungan. Para sahabat memahami bahwa turunnya Al-Qur’an itu dengan tujuh huruf dan membacanya memiliki tingkat perubahan yang berbeda sesuai izin dari Nabi sendiri. Tentu saja kontroversi muncul ketika beberapa orang menolak untuk membaca bacaan yang berbeda dengan dialeknya.
Sebuah Laporan
Hudhaifah bin al-Yaman pernah datang kepada Utsman Ketika orang-orang Suriah dan Irak berperang untuk menaklukan Armenia dan Azerbaijan. Hudhaifah takut akan perbedaan dalam membaca Al-Qur’an dan berkata kepada Utsman, “Selamatkan bangsa ini sebelum mereka memperebutkan Kitab (al-Quran) sebagaimana yang terjadi pada orang-orang Yahudi dan Kristen sebelumnya”. Utsman kemudian memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin al-Zubair, Sa’id bin al-‘Ash dan Abdurrahman bin al-Harits untuk menulis ulang naskah-naskah tersebut dalam salinan yang sempurna. Utsman berkata kepada ketiga orang Quraisy itu, “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit dalam hal apapun tentang Al-Qur’an, maka tulislah dalam dialek Quraish, sungguh turunnya Al-Qur’an itu menggunakan bahasa mereka”. Mereka akhirnya melakukannya, dan ketika mereka telah menulis banyak salinan, Utsman mengembalikan naskah aslinya kepada Hafshah.
Utsman mengirim salinan-salinan tersebut ke berbagai provinsi. Kemudian beliau memerintahkan agar semua naskah Al-Qur’an lain baik yang utuh atau yang terpisah untuk dibakar. Laporan ini menunjukkan bahwa ketika kaum muslimin dari berbagai daerah bergabung dengan kampanye militer di Armenia dan Azerbaijan, mereka yang telah mempelajari Al-Qur’an dari sahabat yang berbeda berselisih satu sama lain atas perbedaan bacaan mereka. Narasi dari Hudhaifah ini memberikan wawasan penting tentang mengapa kodeks Utsman berbeda dari kompilasi Abu Bakar.