Majalahnabawi.com – Sesibuk apapun, Kiai Ali Maksum tidak meninggalkan jadwal ngaji sorogan untuk para santri. Sedari awal, metode sorogan ini beliau terapkan untuk menghidupkan kualitas keilmuan Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Tepatnya setelah wafatnya Kiai Munawwir (1870-1941) selaku pendiri. Konon, hampir sekitar 2 tahun (1943-1944), Pesantren al-Munawwir tutup sementara. Tidak menerima santri dari luar. Waktu ini secara intensif digunakan Kiai Ali Maksum mengader tenaga pengajar, terlebih dari keluarga ndalem. Tidak tanggung-tanggung, waktu pembelajarannya mulai dari pagi setelah shalat Shubuh hingga pukul 21.00 WIB.

Terbukti, langkah ini membuahkan hasil. Setelah vakum selama 2 tahun, Krapyak kembali siap menerima santri. Tenaga pengajar yang telah dikader mampu menjadi penggerak kemajuan pesantren. Melanjutkan cita-cita mulia Kiai Munawwir. Hingga saat ini, metode sorogan kitab kuning masih menjadi tradisi bagi santri senior di Krapyak. Sekitar 7 bulan yang lalu, ada satu santri Krapyak yang melanjutkan studinya di Ma’had Darus-Sunnah Ciputat. Santri asal Cirebon tersebut mengutarakan maksud untuk minta jadwal ngaji sorogan. Melanjutkan sorogan Kitab Ushul Fikih yang belum ia selesaikan di Krapyak.

Mengharap Keberkahan Kiai Ali Maksum

Tidak tanggung-tanggung, sorogan ini diampu langsung oleh Kiai Dr. Hilmy Muhammad, M.A., salah satu cucu Kiai Ali Maksum. Karena itu, tanpa berpikir panjang, saya mengiyakannya. Dengan harapan, dapat memetik keberkahan metode sorogan Kiai Ali Maksum. Kebetulan, kitab Ushul Fiqih karya Syekh Abdul Wahhab Khallaf (1888-1956 M) itu saya bawa ke Jakarta setelah boyong dari Pesantren Mahir Arriyadl Ringinagung Pare Kediri. Kitab setebal 236 halaman ini, dulu saya beli ketika masuk jenjang Aliyah di Madrasah al-Asna. Menjadi referensi tambahan dari kitab muqarar di kelas; kitab Tashil al-Thuruqat di kelas II Tsanawiyah dan kitab Jam’ul Jawami’ di kelas I-III Aliyah.

Dua Hal Menarik dari Kitab Ushul Fiqih

Terkait dengan kitab Ushul Fiqih karya Syekh Abdul Wahhab Khallaf di atas, setidaknya ada dua hal menarik. Pertama, dari sisi sistematikanya, kitab ini mudah dipetakan. Dibagi menjadi 4 bagian. Pertama, mengurai dalil-dalil syariah. Mulai dari al-Quran, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, ‘urf, istishhab, syar’u man qablana, hingga madzhab shahabi. Kedua, menjabarkan hukum syariah. Mulai dari pengertiannya, hakikat pemilik hukum, pembagian, hingga membahas seluk beluk manusia sebagai seorang yang mendapatkan mandat pelaksanaan hukum (mukallaf). Bagian ketiga dan keempat fokus mengulas kaidah-kaidah ushul fikih yang terkait dengan analisa bahasa dan hikmah penetapan syariah. Sistematika ini menjadi alternatif dari beberapa genre kitab ushul fikih lainnya.

Sisi menarik kedua, dalam pemaparannya, Syekh Abdul Wahhab Khallaf menggunakan logika dan diksi yang mudah dicerna dan dipahami. Terlebih, selaku guru besar di Cairo University yang sebelumnya aktif sebagai Inspektur Pengawas Pengadilan Islam di Mesir, Syekh Abdul Wahhab Khallaf selalu memberikan contoh komparatif penerapan ushul fikih dalam perundang-undangan di Mesir. Karena itu, dengan membaca kitab ini, kita dapat merasakan bahwa ushul fikih itu sangat aplikatif dan senantiasa hidup seiring dengan ketetapan hukum kontemporer. Bukan sekedar teori dan konsep yang cukup kita hafal semata.

Lantas tertarikkah anda?

By Muhammad Hanifuddin

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences