MENDEDAH PEMIKIRAN POLITIK KIAI WAHAB CHASBULLAH

Catatan Singkat Tesis Anas Shafwan Khalid

MajalahNabawi.com- Sependek pengalaman saya, saat mengambil mata kuliah pemikiran politik Islam, nama Kiai Wahab Chasbullah jarang dibicarakan. Bahkan cenderung terlupakan. Ironi ini saya pendam begitu saja, baik saat dulu kuliah S1 di prodi ilmu politik Fisip UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atau saat ini di S2 Fisip Universitas Indonesia. Demikian halnya, jika fokus pada pemikiran politik Indonesia, nama Kiai Wahab Chasbullah muncul tenggelam begitu saja. Minim dijadikan tema utama. Meskipun banyak alasan yang bisa dimaklumkan, tetap saja kenyataan ini adalah kerugian bagi generasi muda.

Dalam konteks inilah, tesis yang ditulis mas Anas Shafwan Khalid, santri alumni Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo ini sangat berarti. Tesis yang diajukan sebagai syarat penuntasan gelar master di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini penting untuk ditelaah lebih lanjut. Selain juga sebagai referensi kajian pemikiran politik Indonesia. Setidaknya ada dua pertanyaan penting yang hendak dijawab oleh tesis setebal 286 halaman ini. Pertama, bagaimana Kiai Wahab memainkan peran fikih siyasah dalam konteks politik Islam di Indonesia? Kedua, bagaimana strategi fikih siyasah ala Kiai Wahab itu menjelaskan akomodasionisme sebagai paradigma politik kebangsaan? Fokus analisa yang digunakan adalah kiprah Kiai Wahab saat memimpin Partai NU dalam sidang-sidang Dewan Konstituante 1956-1959.

Fikih Siyasah ala Kiai Wahab

Terkait yang pertama, disimpulkan bahwa Kiai Wahab menggunakan fikih siyasah sebagai strategi, bukan sekedar teori yang statis. Fikih siyasah dipraktikan tidak secara instrumentalis-pragmatis. Karenanya, Kiai Wahab dapat membawa NU menjadi kekuatan politik yang disegani. Tidak sekedar sebagai penyumbang suara semata, sebagaimana saat masih menjadi bagian dari Masyumi. Selain itu, pengalaman politik NU tahun 1956-1959 bukan sebagai oportunisme. Tidak lain karena Kiai Wahab mampu meramu mekanisme pemaknaan yang begitu halus. Ujungnya, menghasilkan sikap politik yang sangat arif dan mengedepankan asas kebersamaan.

Kedua, Kiai Wahab menjadi model bahwa akomodasionisme politik dalam arti positif. Tidak melulu untuk meraup kekuasaan. Lebih dari itu, dalam bingkai fikih siyasah, akomodasionisme dapat ditujukan untuk mengarahkan dinamika politik pada persatuan. Diorientasikan untuk menatap masa depan kehidupan berbangsa. Mengukuhkan sekaligus membuktikan cita-cita perjuangan NU untuk sinergi tiga komponen negara kebangsaan; ulama, pemerintah, dan rakyat. Kesatuan ini disimbolkan dengan “kredo sabdho pandhito ratu” dan “manunggaling kawulo gusti.” Karenanya, Kiai Wahab memiliki kepercayaan diri untuk berani bernegosiasi dengan kekuatan politik yang ada. Baik kubu nasionalis ataupun komunis. Meskipun oleh sebagian kalangan, strategi politik ini dicibir, Kiai Nasakom.

Lantas tertarikkah anda?

Similar Posts