rawi hadis

Tak jarang kita menemukan sebuah keganjilan ketika membahas suatu hadis. Dengan kata lain, terdapat hal-hal yang di mana tampak berbeda dari biasanya, terlebih bagi orang-orang yang tidak mendalami ilmu hadis. Misalnya kita sering menemukan perawi yang tidak disebutkan namanya atau tidak diketahui kapabilitas serta kualitas dirinya, seperti ungkapan عَنْ رَجُلٍ atau حَدَّثَنَا الشَّيْخُ sehingga berimplikasi menimbulkan pertanyaan dalam benak pembaca.

Dalam disiplin ilmu hadis, hal di atas dinamakan dengan Jahalah al-Rawi (ketersembunyian perawi). Pembahasan ini sering ditemui oleh mereka yang mendalami ilmu hadis. Demikian tulisan ini akan membahas sedikit mengenai konsep Jahalah al-Rawi sebagai stimulus pembaca untuk lebih mengenal dan menunaikan rasa penasaran tersebut.

Konsep Jahalah al-Rawi Menurut Para Ulama

Menurut Mahmud Thahhan dalam kitabnya Taisir Musthalah al-Hadis, secara etimologi Jahalat merupakan masdar dari kata Jahila yang merupakan lawan kata dari ‘Alima. Dengan demikian Jahalah al-Rawi bermakna tidak adanya pengetahuan.

Sedangkan secara terminologi menurut Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim al-Abd al-Latif dalam kitabnya Dhawabit al-Jarh wa al-Ta’dil, bahwa makna Jahalah al-Rawi ialah tidak dikenalnya perawi tersebut baik secara integritas maupun kecacatannya secara eksplisit.

Dari pengertian di atas, kiranya dapat kita pahami, bahwa Jahalah al-Rawi (ketersembunyian perawi) adalah tidak dikenalnya seorang perawi dalam sanad hadis, sehingga para ulama tidak memberikan penilaiannya terhadap perawi tersebut, baik mentsiqohnya ataupun menjarhnya.

Adapun yang termasuk dalam pembahasan ini, Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim al-Abd al-Latif dan Mahmud Thahan sepakat mengklasifikasikannya menjadi tiga bagian. Pertama, Majhul Ain, Majhul Hal dan Mubham (samarnya nama perawi). Ketiga tersebut memiliki pengertian yang berbeda yang nantinya akan kita kupas dalam tulisan ini.

Penyebab Jahalah al-Rawi

Sebelum jauh membahas tiga pembagian tersebut, lebih dahulu penulis mengajak pembaca untuk mengetahui sebab yang melatarbelakangi sang perawi termasuk dalam kategori Jahalah al-Rawi.

Pertama, seorang perawi menamakan gurunya dengan kunyah, atau menisbatkannya dengan nama kota, kelompok dan pekerjaan yang tidak masyhur bagi gurunya, sehingga berimplikasi pada dugaan bahwa guru tersebut adalah orang lain, dikarenakan tidak diketahui identitas dirinya. Seperti, Abu al-Nadr, Abu Sa’id, atau Abu Hisyam yang ternyata nama-nama tersebut hanyalah panggilan untuk seseorang.

Kedua, sedikit riwayatnya, sehingga tidak banyak orang yang mengambil riwayat darinya atau bisa jadi ia tidak meriwayatkan sebuah hadis kecuali hanya satu. Seperti Abu al-Ushara al-Darimi dari tabi’in yang tidak ada orang mendapatkan hadis darinya, kecuali Hammad bin Salamah.

Ketiga, menyamarkan atau menyembunyikan nama gurunya atau tidak menyebutkan nama gurunya dalam periwatannya. Misalnya dengan ungkapan “telah mencerikan kepada kami guru kami” atau “telah menceritakan kepada kami si fulan.”

Terakhir, para ulama tidak memberikan justifikasi kepada perawi tersebut, baik dari ketsiqoh-annya maupun kedha’ifannya. Keempat hal tersebut menjadi sebab perawi mendapatkan justifikasi Jahalah, dikarenakan ketersembunyian perawi dalam periwayatan hadis.

Pembagian Jahalah al-Rawi dan kualitas hadisnya

Sebagaimana telah penulis singgung di muka, bahwa pembahasan Jahalah al-Rawi menanungi tiga pembagian. Pertama, Majhul ‘Ain, ialah perawi yang disebutkan namanya, akan tetapi hanya satu orang yang meriwayatkan hadis darinya. Menurut kebanyakan ulama, periwayat ini ditolak secara mutlak. Namun bisa diterima, ketika dikuatkan oleh riwayat lain dari ulama Jarh wa Ta’dil.

Kedua, Majhul Hal, yaitu periwayat yang hadisnya diriwayatkan oleh dua orang atau lebih, akan tetapi para ulama tidak mentsiqohkan, dengan kata lain tidak menilai positif atau negatif. Sejalan dengan di atas, menurut jumhur ulama hukum riwayat ini tertolak.

Sementara yang ketiga, ialah Mubham, meskipun ulama telah menggolongkan bab tersendiri untuk persoalan ini, akan tetapi pada hakikatnya pembahasan ini tidak jauh berbeda dengan pembahasan Majhul. Pengertiannya adalah seorang perawi yang tidak disebutkan namanya dalam hadis. Adapun hadis ini juga tidak diterima riwayatnya.

Dari ketiga di atas, terdapat kesamaan dalam menghukuminya, yakni dengan menolak ketiga riwayat tersebut. akan tetapi, perlu digaris bawahi bahwa penolakan tersebut tidak bersifat mutlak. Artinya, terdapat kemungkinan riwayat tersebut bisa diterima ketika ada riwayat lain yang mendukungnya, selama didukung oleh hadis yang kuat dan bukan dengan perawi yang cacat keadilannya juga tertuduh sebagai pendusta.

Sementara itu, terdapat kejadian lain yang mungkin cukup berbeda. Misalnya ketika seorang perawi menyamarkan gurunya dengan lafaz Tsiqoh. Seperti  “telah meriwayatkan kepadaku si Tsiqqoh”. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, tapi yang paling rajih bahwa riwayat tersebut tetap tidak diterima.

Dengan alasan, bahwa standarisasi ulama dalam mentsiqohkan perawi tidak lah sama, bisa jadi ulama tersebut mentsiqohkan seorang perawi yang telah disepakati kedhaif’annya oleh jumhur ulama.

Dalam hal ini, terdapat ketentuan khusus bagi ulama yang telah mashur keadilannya, seperti Imam Syafi’i yang meriwayatkan hadis dengan lafaz Tsiqoh “telah mengisahkan kepada kami si Tsiqoh dari al-Lais bin Sa’ad” yang dimaksud tsiqoh tersebut ialah Yahya bin Hassan al-Tinnisi al-Bakri.

Lagi-lagi hal di atas tidaklah mutlak, sebab pada periwayatan lain Imam Syafi’I juga menggunakan lafaz tsiqoh, akan tetapi derajat perawi tersebut di kalangan ulama ialah shaduq. Misalnya “telah menceritakan kepadaku si tsiqoh dari Ibn Juraih”, tsiqoh di sini ialah Muslim Ibn Khalid al-Makhzumi. Dia seorang yang Shaduq karena banyaknya kesalahan dalam meriwayatkan.

Bagaimana hendaknya kita bersikap

Dalam hal ini kita dapat mengutip ungkapan al-Hafiz al-Daruqutni dalam kitab Dhawabit al-Jarh wa al-Ta’dil, bahwa para ulama hadis tidak berhujjah menggunakan hadis yang tidak kenal perawinya (Majhul), akan tetapi mereka berhujjah dengan riwayat yang sudah jelas keadilan dan kemashurannya, atau perawi yang telah tampak identitasnya disebabkan terdapat dua perawi lain atau lebih yang juga meriwayatkan hadis tersebut,

jika hal tersebut terpenuhi, maka perawi itu tidak lagi temasuk dalam kategori Jahalah al-Rawi. Adapun seseorang yang tidak meriwayatkan hadis kecuali hanya kepada satu orang, maka hendaknya Tawaqquf (tidak berkomentar) hingga adanya kesepakatan dari ulama mengenai riwayat tersebut.

Sebagai penutup, bahwa ketentuan yang dijelaskan oleh ulama mengenai Jahalah al-Rawi tidak selamanya mutlak, sehingga masih perlu dilakukan penelitian dan perhatian yang mendalam. Agar kita tidak cepat-cepat mendhai’fkan ataupun mentsiqohkan seorang perawi dan menolak hadisnya, hanya karena dalam riwayat tertentu kedudukannya Majhul ataupun Mubham.

Demikian tulisan ringkas ini, semoga memberikan manfaat, setidaknya sedikit memperkanalkan dan menuntaskan rasa penasaran para pembaca mengenai Jahalah al-Rawi.

Wallahu A’lam.