nikah

Problematika Poligami Bagi Muslim di Indonesia

Majalahnabawi.com – Seberapa rumit seorang suami muslim di Indonesia dapat menjalin kasih dengan wanita lain? Seberapa rumit seorang muslim di Indonesia dapat menikah lagi?

Manusia merupakan makhluk sosial, yang berarti tidak bisa hidup sendiri tanpa ada bantuan dari orang lain. Kenyataan ini menjelaskan, bahwa manusia memiliki interaksi dengan manusia lainnya. Sehingga demi meraih ketertiban sosial setiap individu harus mengetahui batasan sampai mana dia boleh melakukan sesuatu. Misalnya dalam jual-beli, bekerja, juga dalam sebuah ikatan jalinan kasih pernikahan.

Semua Makhluk Berpasang-pasangan

Sang Pencipta merancang setiap makhluk-Nya memiliki naluri untuk berinteraksi dengan intim dengan lawan jenisnya. Tidak hanya manusia, binatang juga memiliki naluri berpasangan, bahkan seperti penjelasan Prof. Quraish Shihab; atom pun memiliki unsur positif dan negatif (elektron proton) yang saling tarik-menarik demi menjaga eksistensinya. Hal ini telah termaktub dalam firman Allah surat adz-Dzariyyat ayat 49:

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ – ٤٩

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)”.

Pernikahan dan Batasannya

Interaksi intim manusia antara laki dan perempuan, Allah atur sedemikian rupa dalam ikatan pernikahan. Semacam ikatan perjanjian suci antara dua lawan jenis yang menasbihkan diri hidup bekerja sama membangun keluarga selamanya.

Menariknya, Islam menetapkan bahwa batas maksimal pasangan laki-laki adalah empat orang istri setelah sebelumnya pada masa jahiliyyah tidak ada pembatasan sama sekali. Lantas pertanyaannya kemudian, apakah laki-laki dapat menggunakan kuota empat wanita tadi dengan seenaknya? Lalu bagaimana jika seorang laki-laki yang sudah beristri menjalin kasih dengan wanita lain tanpa sepengetahuan istrinya? Atau istrinya tahu, akan tetapi dia tidak rela?

UU Perkawinan/Poligami

Dalam literatur-literatur fikih klasik kita akan sulit menemukan bahwa seorang suami yang hendak menikah lagi (poligami) harus mendapatkan izin dari istri. Akan tetapi dalam perundang-undangan di Indonesia, praktik poligami diatur secara ketat. Karena pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia menganut asas monogami. Hal ini tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.

Namun, UU Perkawinan memberikan pengecualian di mana seseorang suami dapat berpoligami dengan beberapa alasan dan syarat-syarat tertentu. Syarat yang dimaksud salah satunya adalah mendapat pesetujuan dari istri pertama atau istri-istri lainnya.

Apabila suami menjalin hubungan (menikah) dengan wanita lain tanpa izin atau tanpa sepengetahuan istri pertama, maka bisa dijerat dengan pasal 279 KUHP. Adapun ancaman hukumannya adalah penjara maksimal 5 – 7 tahun.

Dengan memperhatikan UU Perkawinan dan KUHP tadi, poligami di Indonesia sepertinya “agak sukar untuk dilakukan”, kalau tidak mau menyebut itu mustahil. Akan tetapi, sebagian pihak masih menggunakan celah pemahaman mereka terhadap ajaran agama untuk mendapatkan legitimasi dalam poligami. Poligami itu boleh, asalkan adil.

Tuntutan Agama Agar Laki-laki Berlaku Adil

Abdurrahman Wahid dalam Islamku Islam Anda Islam Kita mempertanyakan persoalan “adil” ini. Apakah keadilan tersebut menurut sudut pandang laki-laki atau perempuan? Tentunya jika kita memakai sudut pandang laki-laki baik istri yang dia kehendaki satu, dua, tiga, bahkan empat, laki-laki itu akan terus merasa “adil”.

Karenanya akan baik jika yang menjadi “juri” keadilan tadi adalah istri, bukan suami. Istri yang memutuskan berdasarkan sepak terjang suami; apakah jika dia menikah lagi akan berlaku adil atau tidak. Ini pula yang menjadi alasan perundang-undangan kita mengharuskan suami mendapat izin dari istri sebelum berpoligami.

Dalih-dalih Poligami

Semangat poligami ini juga sering kali disebabkan oleh pemahaman secara pragmatis terkait QS: An-Nisa ayat 4 yang lebih ditekankan terhadap bilangan wanita yang boleh laki-laki nikahi. Bukan pada pesan ayat yang di dalamnya memuat tuntutan keadilan dari seorang laki-laki.

Di sisi lain, laki-laki dengan perasaan menggebu memadu istri, melandaskan keinginannya terhadap perilaku Nabi Saw yang secara kasat mata berpoligami. Tanpa melihat motif sesungguhnya Nabi Saw melakukan hal tersebut. Padahal, Nabi Saw melakukan poligami karena ada kebutuhan khusus, bukan karena syahwat semata. Terbukti dari kebanyakan istri Nabi Saw adalah janda, bukan seorang perawan yang dimaksudkan untuk menjadi istri muda.

Terlebih jika melihat periode monogami Nabi Saw dengan sayyidah Khadijah yang berlangsung selama 25 tahun, periode poligami Nabi Saw terbilang lebih singkat. Yakni hanya berlangsung kurang lebih 13 tahun. Maka, jika ingin poligami nyunnah setidaknya laki-laki tersebut memiliki motif yang sama dengan Nabi, bukan karena syahwat semata.

Selain itu, berkembangnya persepsi bahwa populasi perempuan yang lebih banyak daripada laki-laki sering pula menjadi dalih. Menurut kami, dalih poligami berdasarkan banyaknya jumlah laki-laki dan perempuan tidak tepat. Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, presentase pemuda di Indonesia (usia 19-30 tahun) laki-laki lebih tinggi jumlahnya dibandingkan perempuan, yakni 50,78 persen berbanding 49,22 persen.

Artinya, dari 100 perempuan terdapat setidaknya 103 laki-laki. Begitu pula presentase pemuda laki-laki yang belum nikah (70,86 persen) jauh lebih tinggi dibandingkan pemudi perempuan (47,12 persen).

Akibat pelik serta rumitnya peraturan poligami tadi, laki-laki biasanya menempuh jalan pintas. Yakni menikah tanpa persetujuan peradilan agama. Hal ini sangat merugikan bagi perempuan serta anaknya kelak karena status perkawinan mereka akan dianggap tidak sah oleh negara. Konsekuensinya perkawinan ini tidak akan memiliki kekuatan hukum.

Kesimpulan

Dengan menghadirkan data-data tadi, bukan berarti kami sama sekali menutup pintu poligami rapat-rapat. Kiranya, jika memang kekeh, satu-satunya celah atau dalil bagi laki-laki yang ingin memadu istrinya ialah ketika sang istri tidak dapat menghasilkan keturunan. Itu pun sebelum melakukan poligami, suami harus melakukan komunikasi yang baik dengan istri agar tidak ada pihak yang merasa merugi. Juga harus menempuh peradilan sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

Seperti halnya pendapat Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Perempuan bahwa ia tidak menyarankan poligami selama tidak ada hal darurat yang membuat suami harus melakukannya. Beliau mengibaratkan Poligami sebagai pintu darurat yang hanya boleh dibuka ketika keadaan darurat saja.

Seorang suami yang hendak menjalin kasih dengan wanita lain melalui jalur sah baik menurut agama maupun negara saja begitu pelik. Apa kabar suami yang menjalin kasih dengan wanita lain lewat hubungan yang tidak jelas dan tanpa izin istri?

Penulis: Tim Majalah Nabawi Darus-Sunnah

 

Similar Posts