Majalahnabawi.com – Abad 1 H hingga 4 H diyakini sebagai masa dimulainya pendistribusian hadis Rasulullah Saw dari tanah Arab hingga tersebar ke berbagai penjuru negeri. Hal ini pula yang menjadi tunas pemantik para sarjana Hadis untuk melakukan pengembaraan demi mendapatkan hadis yang belum pernah mereka dengarkan dan kemudian mengumpulkannya menjadi sebuah susunan yang lebih terorganisir.

Di sisi lain, terdapat dugaan bahwa pengumpulan hadis itu sendiri bukan dimulai semenjak pengembaraan mereka, namun jauh sebelum itu. Hadis lebih banyak dihafal oleh para sahabat, berbeda dengan al-Quran yang memang sudah banyak ditulis sejak zaman itu.

Berdasarkan riwayat yang diterima dari Abu Said al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid bin Sabit yang tercantum dalam Taqyid al-Ilm karya Ibnu Abdul Barr, Rasulullah Saw pernah sekali melarang para sahabat untuk mengumpulkan hadis.

Beberapa ulama menyakini bahwa pelarangan ini sebenarnya tidak ditujukan kepada semua sahabat, melainkan hanya beberapa saja dari mereka yang notabene penulis wahyu, karena khawatir akan bercampur dengan al-Quran.

Kebolehan Menulis Hadis

Namun, berdasarkan riwayat lain yang diterima dari Abdullah bin Amr, Abu Syah, dan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah juga pernah sekali membolehkan untuk menulis hadis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa problema yang muncul saat itu adalah adanya kekhawatiran bahwa Hadis akan tercampur dengan ayat-ayat al-Quran.

Jika memang pada saat itu Hadis sudah terkumpul, lantas benarkah bahwa motif para pengembara ini semata-mata hanya demi mendapatkan atau mendengarkan sebuah hadis?

Upaya mengompilasikan hadis pada zaman Rasulullah jelas jauh berbeda dengan al-Quran, yang sejak saat itu memang sudah terorganisir dengan baik, puncaknya adalah ketika masa kekhalifahan Usman bin Affan.

Nyatanya, hadis hanya dihafal oleh sebagian sahabat saja, itu pun ada yang banyak, ada juga yang sedikit. Setelahnya, hadis belum-belum benar dirangkum menjadi satu, hingga pada akhirnya para sahabat pengoleksi hadis tersebut berpindah-pindah tempat dan mewarisi hadis kepada keturunan mereka. Hal ini lah yang menimbulkan kekhawatiran bagi umat Islam saat itu. Beberapa dari mereka akhirnya tergerak untuk mengumpulkan hadis tersebut sebagaimana kitab suci al-Quran berhasil tersusun.

Pengembaraan Para Ahli Hadis demi Menjaga Hadis

Para Sarjana yang mengembara ini tentu memiliki movitasi kuat, yakni mengumpulkan hadis yang merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran dalam agama Islam. Bagaimana pun, Allah telah menjanjikan umat Islam yang berilmu dengan ganjaran beberapa derajat. Sehingga wajar jika mereka bahkan rela menempuh perjalanan jauh demi misi mulia itu.

Seiring berjalan waktu, ternyata para sarjana ini tidak jarang menjumpai hadis yang diragukan kekredibilitasannya. Beberapa sanad dinilai memiliki ‘illat yang cukup fatal, membuat hadis tersebut dipertanyakan, apakah benar-benar keluar dari mulut mulia Rasulullah Saw atau tidak? Hal ini membuat para pengembara ini akhirnya merumuskan ulang konsep dan prosedur pengembaraan mereka. Salah satunya adalah dengan melakukan identifikasi terhadap masing-masing perawi meliputi sifat keadilan maupun kedhabitan mereka, men-ta’dil (berkomentar positif mengenai seorang perawi) ataupun men-jarh (berkomentar negatif terkait seorang perawi). Hal yang menarik adalah ternyata ditemukan motif lain dalam pengembaraan mereka.

Tatkala meriwayatkan hadis, nyatanya banyak hadis-hadis yang sebenarnya sudah mereka ketahui, bahkan sudah mereka hafal di luar kepala. Agaknya, kurang relevan jika kita katakan bahwa motif mereka hanya untuk mendapatkan hadis yang jelas-jelas sudah mereka hafal.

Motif Rihlah Pencari Sanad Tinggi

Berkaitan dengan fakta ini, sanad merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki agama Islam. Fakta inilah yang pada akhirnya memantik juga para sarjana hadis untuk mengembara antar negeri demi mendapatkan sanad yang lebih tinggi.

Mereka juga menganggap bahwa pengembaraan itu merupakan hal terpuji yang patut dilakukan bagi mereka yang gemar mempelajari ilmu terutama hadis. Bahkan beberapa ulama besar seperti Imam Ahmad bin Hanbal pun mengakui bahwa seseorang perlu melakukan rihlah demi memperpendek rangkaian sanadnya.

Bagaimana pun, sejauh apapun sebuah pengembaraan dilakukan jika itu demi mendapatkan ilmu agama meskipun hanya satu hadis saja, niscaya pengembaraan itu tidak akan sia-sia.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rihlah ilmiah atau pengembaraan yang dilakukan oleh para sarjana hadis tidak hanya memiliki satu motif saja, yaitu untuk mendapatkan hadis yang sudah menyebar luas ke berbagai penjuru negeri. Lebih dari itu, rihlah ilmiah ini juga dilakukan berdasarkan motif para sarjana untuk mendapatkan kesempatan agar bisa duduk dan berdiskusi bersama para ulama yang tersebar di penjuru negeri, juga salah satunya demi mendapatkan sanad yang lebih dekat kepada Rasulullah Saw.