majalahnabawi.com – Abu al-Aswad al-Dualy bernama asli Amr bin Sufyan (w. 69 H) orang yang pertama kali merintis ilmu nahwu. Namun ternyata pendapat ini diduga kurang tepat. Benarkah beliau yang pertama kali merintis kaidah Bahasa Arab? Mari kita tuntaskan di sini.

Beliau lebih dikenal dengan nama panggilan Abu al-Aswad al-Dualy, seorang mukhadram ulama linguistik, penyair yang cerdas nan pandai dari Basrah. Beliau mengikuti perang Shiffin serta perang Jamal dalam barisan sayidina Ali ra. Kembali ke fokus masalah, kita temukan bahwa ada perbedaan pendapat terkait siapakah yang pertama kali merintis kaidah Bahasa Arab, ada yang mengatakan bahwa Abu al-Aswad al-Dualy adalah orangnya lalu ada pula klaim bahwa Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) lah sang perintis yang sesungguhnya.

Riwayat Perintis Ilmu Nahwu Adalah Ali Bin Abi Thalib

Sebuah analisis lebih lanjut, kita mendapatkan bahwa kedua pendapat ini tidaklah saling berseberangan atau mengambil manuver tarik-menarik.  Sebuah Riwayat menyatakan, perintis dari ilmu nahwu adalah Ali bin Abi Thalib karena beliau yang memberi gagasan awal tentang kodifikasi ilmu bahasa Arab, sedangkan Abu al-Aswad al-Dualy adalah penyusun sekaligus pengembangnya. Ini tercermin dari perkataan Ali bin Abi Thalib yang juga menjadikan alasan kenapa dinamakan ilmu nahwu menurut suatu riwayat:

اُنْحُ هذَا النَّحْوَ.

 “Ikutilah yang semisal ini”.

Juga dengan perkataan Ali bin Abi Thalib kepada Abu al-Aswad sesaat setelah Ali menyusun pembagian kalimat yang terdiri dari fi’il, ism dan harf:

تَمِّمْ عَلَى هذَا.

Sempurnakan ilmu ini”.

Perintis Kaidah Bahasa Arab

Tapi ada riwayat lain yang dapat dijadikan pertimbangan untuk mengafirmasi bahwa Abu al-Aswad al-Dualy adalah perintis kaidah bahasa Arab, ini tampak pada sepenggal kisah tatkala ia datang menemui Ziyad bin Abihi yang menjadi gubenur Basrah seiring waktu. Lalu terjadi percakapan antara kedua pihak, Abu al-Aswad meminta kepada Ziyad untuk mengizinkannya membuat pondasi dalam ilmu bahasa Arab yang dengannya umat bisa memiliki dasar serta mengenal ungkapan mereka, dengan hipotesa awal bahwa bahasa Arab saat itu sudah banyak tercampur dengan bahasa Ajam (non-Arab) sehingga tercampur dengan bahasa Arab. Namun saat pengajuan pertama ini, keinginan Abu al-Aswad ditolak. Kemudian, pada suatu hari datanglah seorang badui Arab menemui Ziyad untuk mengadukan keadaannya seraya berkata:

يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ، مَاتَ أَبَانَا وَخَلَفَ الْبَنُوْنَ

Kalimat yang diucapkan oleh orang tersebut terjadi kesalahan yang sangat fatal, seharusnya ia mengucapkan:

 مَاتَ أَبُوْنَا وَخَلَفَ الْبَنِيْنَ

Karena yang wafat ialah sang ayah, dan yang ditinggalkan ialah anak-anaknya. Sehingga dengan segera Ziyad meminta untuk didatangkan Abu al-Aswad, tatkala ia telah datang, Ziyad menyampaikan kepada Abu al-Aswad untuk segera membuat sebuah kaidah bahasa Arab yang sebelumnya pernah ditolak.

Salah Paham Yang Berujung Pembuatan Kaidah

Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Abu al-Aswad termotivasi dari anak perempuannya yang bertanya:

يَا أَبَتِ مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ

Wahai ayahku apa yang paling indah di langit?

Lantas Abu al-Aswad menjawab “bintang-bintangnya”, kemudian putrinya kembali merespon “Wahai ayah, sesungguhnya aku tidak bertanya kepadamu akan tetapi aku menyampaikan rasa ketakjubanku akan keindahan langit ini. Jika seperti itu, maka katakanlah:

مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ

Betapa indahnya langit ini.

Dari kisah inilah, Abu al-Aswad nulai merintis kaidah bahasa Arab  yang dimulai dengan bab kaidah ta’ajub.

Perkara penulisan kaidah bahasa Arab menjadi semakin krusial ketika ada seorang yang membaca surah al-Taubah ayat ke-3, dengan mengkasrohkan lafaz rasul (رَسُوْلِهِ), sehingga konsekuensinya ialah bahwa Allah Swt mengabaikan utusan-Nya. Adapun pembacaan yang benar ialah dengan mendhommahkan lafaz rasul.

 إِنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ ( التَّوْبَة : 3)

Kemudian untuk memenuhi permintaan Ziyad dalam menyusun serta meletakan kaidah bahasa Arab agar dapat menjadi tuntunan umat dalam berbahasa, selanjutnya Abu al-Aswad dibantu dengan seorang sekretaris yang menulis apa-apa yang ia perlukan. Maka, dengan beberapa riwayat di atas, Abu al-Aswad dapat kita katakan sebagai perintis sekaligus penyusun kaidah bahasa Arab atas perintah dari sayidina Ali ra. serta gubernur Basrah Ziyad bin Abihi.

By Mifta Dwi Kardo

Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.