Majalahnabawi.com – Mitos inferioritas perempuan masih mewarnai kehidupan modern ini. Mereka menggunakan istilah “seksis” dalam tataran masyarakat yang memiliki kelas. Hal yang masih menjadi dalil mereka dalam mempertahankan penindasan, yaitu faktor biologis. Apakah biologi memiliki peran terhadap stigma bahwa perempuan tercipta sebagai second sex (manusia kelas dua) sehingga menjadi inferior di bawah dominasi laki-laki?

Propoganda Semu

Propoganda pseudo (semu) ilmiah yang membatasi inferior perempuan adalah biologi. Menurut sebagian mereka, perempuan sudah cacat secara biologis, karena alamiahnya ia akan menjadi seorang ibu, sehingga harus selalu bergantung kepada laki-laki. maka sangat mustahil menuntut kesetaraan terhadap laki-laki.

Memang secara alamiah laki-laki dan perempuan berbeda. Tapi tidak pantas rasanya jika alam harus bertangung jawab atas penindasan ini. Penindasan tersebut tercipta oleh institusi yang dibangun oleh manusia dalam lingkaran patriarki.

Alat Penindasan

Hal ini terlihat bagaimana sejarah cenderung tidak memperlihatkan perempuan -hanya sedikit- dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah ilmuwan tersebut diciptakan sebagai alat untuk melanggengkan penindasan yang terjadi terhadap biologi perempuan oleh laki-laki. Implikasinya, apa gunanya perempuan mencari kebebasan dan kesetaraan, jika permasalahannya terdapat pada genetik dan biologis mereka? Apa gunanya mengubah kelas perempuan, jika tidak dapat mengubah biologis mereka? Tema ini yang menggantung di pikiran kita, untuk mengakui supermasi laki-laki yang menyamar ilmuan. Seolah biologi adalah takdir mereka yang harus diterima dan ditunduk padanya.

Faktanya tidak demikian, seolah biologi adalah kutukan yang harus diterima perempuan. Maka tidak pantas bagi mereka menuntut haknya sebagai manusia. Inilah sebuah paradigma yang dibangun dalam masyarakat kelas. Meskipun edukasi dari agama, pendidikan dll, bahwa manusia bagaikan gigi sisir, artinya manusia memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih unggul dari keduanya. namun diskriminasi biologis masih sering kita dengar dalam kehidupan modern kita.

Fenomena ini seolah memaksa kita untuk kembali menuju zaman dulu, zaman di mana manusia yang menganggap bahwa perempuan tidak lah memiliki peran atau otoritas di kalangan masyarakat, bahkan untuk dirinya sendiri. Bagaimana tidak? jika saat ini, masih banyak yang berpendapat bahwa perempuan tercipta untuk menanggung nasib sebagai manusia kelas dua. Zaman modern seharusnya dapat merubah dinamika sosial dalam berfikir, tidak menjadi kolot dan konservatif, mempertahankan kebiasaan dan budaya yang mendiskriminasi perempuan.

Maka akan timbul dalam benak kita, benarkah manusia tercipta dalam tataran yang sama?. Rasanya manusia masih sulit menerima kenyataan yang ada, sehingga harus membuat mitos inferioritas melalu biologi. Perbedaan yang disalahpahami, mencerminkan manusia belum bisa menerima takdir yang ada.

Begitu kiranya pemikiran Evelyn Reed yang dituangkan dalam bukunya “Apakah Takdir Perempuan Sebagai Manusia Kelas Dua?”