Pendidikan Tanpa Perisakan

Majalahnabawi.com – Perisakan atau perundungan yang biasanya pula kita kenal dengan istilah bullying adalah bentuk tindakan diskriminasi terencana dan berulang-ulang yang tingkat perkaranya masih tinggi di Indonesia.

UNICEF yang didirikan 75 tahun yang lalu, KPAI, Kemdikbudristek dan banyak lembaga kependidikan lainnya ikut bergelut dalam pembasmian perisakan yang mengakar dan berserabut di teritori pendidikan. Tanpa mempersempit ruang lingkup perisakan, karena ia tak hanya terjadi di depan pendidik, tak jarang di tengah keluarga atau terselip di keramaian hidup bermasyarakat.

Menjadi fokus permasalahan ini ialah perisakan yang terjadi di sekolah. Tindakan diskriminasi, rasisme sampai pada puncaknya di zaman pandemi kita mendapatinya melalui layar gawai, laptop dan sejenisnya. Baik terjadi pada diri sendiri, saudara, tetangga, kolega ataupun orang yang sudah tua. Cyberbullying merupakan bentuk intimidasi dunia maya, tanpa menebalkan pembahasan, bahkan ini ikut mengaitkan dengan hal yang viral beberapa pekan lalu di mana BEM UI yang menggemakan istilah baru (The King of Lip Service) yang dikailkan pada Presiden ke-6 Republik Indonesia.

Berikut beberapa contoh aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai cyberbullying:

1. Menulis hal yang berisi sarkastis melalui pesan instan, pesan teks atau game daring.

2. Postingan yang mengandung hinaan.

3. Memalsukan identitas dengan tujuan mengejek, menghancurkan identitas.

4. Doxing (mempublikasikan data personal orang lain)

5. Cyber stalking (penguntitan di dunia maya yang berujung pada penguntitan di dunia nyata)

6. Revenge pom (penyebaran foto atau video dengan tujuan balas dendam yang dibarengi dengan tindakan intimidasi dan pemerasan)

7. Dan beberapa tindakan cyberbullying lainnya.

Seberapa penting sehingga perkara ini perlu untuk dipahami dengan seksama? Karena bullying bisa terjadi di mana-mana, dan siapapun bisa menjadi mediator untuk mengatasinya.

Data Kasus Pembulian

Menarik untuk diintip, bank data yang dimiliki KPAI terkait jumlah kasus perisakan dalam pendidikan tahun ajaran 2020 mencapai 1567 kasus, tentunya ini hanya sebagian dari yang menyuarakan pengaduan, karena sejatinya banyak kasus perisakan yang mengakar dan merambat di daerah-daerah 3T yang masih minim sosialisasi. Jika kita konsumsi kembali bank data perisakan yang terjadi di Indonesia, maka kita memperoleh angka 24.974 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (2016-2020) dan 6519 pada tahun 2020 saja. Celaka, ini bukan masalah kecil! Banyak anak pindah bahkan berhenti sekolah bukan hanya karena problema finansial alih-alih karena menyerah dalam melawan pelaku pembulian yang tak jarang pelaku tersebut juga bahkan dari golongan pendidik.

Lebih lagi, dampak dari perisakan ini bisa terasa hingga usia dewasa, secara fisik dan mental. Dari bilik kesehatan dan kesejahteraan pun juga ikut mengakui akan buruknya dampak dari bullying/ perisakan. Bangsa ini akan tumbuh, bibit-bibit seharusnya dijaga, dirawat dengan penuh perhatian bukan perisakan. Pendidikan tanpa perisakan perlu untuk terus disuarakan, disosialisasikan karena bullying bisa terjadi di mana-mana, dan siapapun bisa menjadi mediator untuk mengatasinya.

Arkian, Apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini apabila terjadi kasus perisakan baik di muka umum maupun dunia maya?

Strategi Menghapus Perisakan

Strategi terbaik menghapus perisakan yang terjadi ialah dengan mengenal peserta didik dengan baik melalui proses kebersamaan. Strategi ini tentu dapat menjadi langkah preventif untuk memperkuat rasa kebersamaan satu sama lain. Walau kadang, meskipun kita telah melakukan segala yang terbaik untuk mendukung interaksi positif, perilaku yang tampak dan terdengar seperti perisakan bisa saja tetap terjadi. Ketika itu terjadi kita membutuhkan sebuah pendekatan yang segera.

Katakanlah terjadi sebuah konflik di antara peserta didik, lalu hal tersebut dilaporkan kepada pendidik (dalam hal ini semua orang harus bisa menjadi pemberi bimbingan dan konseling). Proses ini dapat dimulai oleh para pengamat seperti pendidik dan teman kelas yang mengamati perilaku perisakan. Lalu mereka yang terlibat dalam konflik ini bisa diminta menuliskan formulir berisi keterangan kejadian dan waktu negosiasi. Nah, dalam hal ini pendidik dapat mengajak peserta didik yang lebih senior dan sudah dilatih untuk menangani konflik ini (seperti pengurus di sekolah/ pesantren). Dengan cara ini peserta didik yang lebih senior dapat menghadiri dan memfasilitasi negosiasi ini.

Di sesi penyelesaian konflik, pendidik, dua pihak dan peserta didik yang lebih senior bertemu bersama. Kedua pihak bercerita dari sudut pandang masing-masing (fokus awal adalah mendengarkan satu sama lain). Lalu fasilitator bertanya kepada setiap pihak untuk merefleksikan perilaku mereka. Idenya adalah kedua pihak akan mengidentifikasi solusi yang tepat terkait perkaranya. Pertemua berakhir bila mereka menemukan solusi dan bersedia melaksanakannya. Tentunya, mereka perlu untuk terus difollow-up dan bila masih tidak ada perubahan maka bisa dilakukan peninjauan ulang.

Tindakan Preventif

Satu lagi tindakan preventif yang mungkin perlu diuji, yakni memasangkan peserta didik kelas paling senior dengan kelas yang paling junior (biasanya perisakan terjadi pada mereka yang junior). Sistem kawan ini nampaknya akan menumbuhkan sikap kepemimpinan, rasa bertanggung jawab, kasih sayang dan saling memiliki. Sangat sederhana namun bisa sangat membantu.

Kemudian, untuk mengatasi cyberbullying atau intimidasi dunia maya dapat dengan membantu menegakkan tindakan-tindakan preventif, seperti memahami dan memahamkan yang lain akan etika berinternet, memaksimalkan peran orang tua, para aparat keamanan dan organisasi-organisasi sosial-masyarakat untuk menggemakan sosialisasi anti-bullying dan menjadi mediator. Adapun jika pada tindakan preventif ini bobol, maka bisa lanjut dengan strategi pre-emtif dan berusaha untuk tidak menyertakan tindak represif.

Solusi yang ditampilkan di atas hanyalah sebagian kecil dari potongan besar. Bibit-bibit pemimpin masa depan perlu untuk dirawat bersama, sekali lagi bersama. Ini menjadi intim, karena bullying bisa terjadi di mana saja, dan siapapun bisa menjadi mediator untuk mengatasinya.

Similar Posts