Reinkarnasi Pemikiran Cak Nur

Majalahnabawi.com – Barangkali tidak berlebihan, jika saya mengatakan bahwa perkembangan pembaharuan ilmu-ilmu keislaman di Indonesia yang dimulai sejak 1970 sampai saat ini, tidak kurang dan tidak lebih adalah diseminasi dari yang telah diwariskan oleh almarhum Nurcholish Madjid; Cak Nur.

Sebagai contoh mikro, gagasan kontroversial “Jaringan Islam Liberal” atau JIL yang diintrodusir Ulil Abshar Abdalla (2002) dan gagasan polemis “Polemik Kitab Suci” serta “Islam Revisionis” milik Mun’im Sirry, pada titik permulaannya akan berhulu pada ide-ide yang lebih awal digagas oleh Cak Nur, seperti liberalisasi, rasionalisasi, sekularisasi, demitologisasi, dan lain sebagainya.

kebudayaan yang disakralkan

Saya mengatakan berhulu pada Cak Nur, karena situasi dan kondisi (hanya berbeda masa) yang mereka hadapi adalah sama yaitu stagnasi dan ortodoksi berpikir umat Islam yang terlalu menyakralkan kebudayaan-kebudayaan lama.

Baik Cak Nur, Ulil Abshar Abdalla, ataupun Mun’im Sirry secara implisit mengakui bahwa kebudayaan dan tradisi lama yang tidak baik lalu disakralkan secara keseluruhan dan berlebihan, akan menyebabkan umat Islam mundur dan terbelakang, atau dalam bahasa Cak Nur diistilahkan dengan kehilangan “psychological striking force”.

Ketika umat Islam mundur dan terbelakang yang patut untuk dikritisi tentu bukan Allah-nya, Muhammad-nya, ataupun al-Qur’annya (walaupun dalam konteks tertentu masih sangat perlu untuk dikritisi, tapi saya tidak akan bahas di sini, kita bisa diskusikan lain waktu), Yang patut untuk dikritisi adalah bagaimana umat Islam memahami ketiga komponen tersebut.

Problem lanjutannya, masih banyak umat Islam; baik ia sadar tapi masih takut atau tidak sadar karena memang tidak tahu, merasa bahwa keilmuan atau cara memahami tentang Islam sama derajatnya dengan Islam itu sendiri. Padahal keilmuan tentang Islam hanyalah bentuk minimum menginterpretasikan tentang Islam itu sendiri, karenanya tidak perlu disakralkan apalagi dipertahankan mati-matian, harus disikapi biasa saja!

Pensakralan yang terlalu berlebihan terhadap hal-hal yang bersifat profan inilah yang oleh Cak Nur disebut dengan “sekularisasi”.

Tentang Sekularisasi

Ketika mengintrodusir tentang sekularisasi-nya, banyak respon dan kritik yang cukup represif kepada Cak Nur, (termasuk dari tokoh idolanya sendiri, Prof. H.M. Rasjidi); mulai dari menganggap Cak Nur telah terinvensi oleh paradigma pemikiran Barat sampai kepada tuduhan Cak Nur terlalu menuhankan akal. Padahal, secara implisit Cak Nur mengaksentuasikan bahwa “sekularisasi” adalah langkah preskriptif untuk memodernisasi umat melalui jalan rasionalisasi bukan westernisasi

Apapun respon kala itu, saya kira Cak Nur telah memulai fase baru keislaman Indonesia.

Fase baru tersebut dibuktikan ketika Ia merasa resah atau bahkan “muak” melihat umat Islam yang menyamaratakan antara aspek yang bersifat duniawi; profan dengan aspek yang bersifat ukhrawi; sakral.

Sebagai contoh, eksisnya partai politik kala itu yang katanya Islami, seolah-olah mewajibkan umat Islam untuk berpihak dan memilih para politisi yang bergabung dengan partai tersebut, dengan alasan mereka beragama Islam dan mereinterpretasikan tentang Islam itu sendiri? Benarkah demikian, tentu saja tidak.

Partai Islam 

Jargon populer Cak Nur, yaitu “Islam, Yes, Partai Islam, No,” hendak mengatakan, bahwa partai Islam dulu, kemarin, dan sekarang bukan hal yang subtil, dan bahkan “sama sekali” tidak memiliki korelasi dengan ajaran keislaman.

Artinya, partai politik hanyalah sebatas partai yang punya orientasi dan prospek duniawi, Islam hanyalah menjadi basis nilainya, karenanya memilih partai politik tidak usah disakralkan dan tidak penting untuk dibangga-banggakan! Dari sini dapat dikonklusikan bahwa “sekularisasi”, yang dimaksudkan oleh Cak Nur bertujuan untuk mengembalikan yang ukhrawi; sakral, sebagai sakral, dan yang duniawi; profan, sebagai profan.

Penting untuk digarisbawahi, “sekularisasi” Cak Nur pada titik kulminasinya bermuara pada tauhid, yaitu “devaluasi” atau “demitologisasi” atas apa segala aspek yang berkonfrontasi dengan ide tauhid, yaitu pandangan yang paling asasi dalam Islam menyangkut ketuhanan. Jadi, yang patut untuk disakralkan dalam konsep “sekularisasi”-nya Cak Nur hanyalah Tuhan itu sendiri; Allah dalam istilah umat Islam.

Penting untuk diketahui, almarhum Cak Nur, Allahummaghfirlahu, adalah seorang santri sekaligus patronasi pembaharuan Islam Indonesia bercorak liberalis-modernis dengan latar belakang pendidikan berbasis pesantren yang sangat kuat; Pesantren Darul ‘Ulum Rejoso dan Pesantren Modern Gontor.

Pertanyaannya, bisakah santri sekarang mereinkarnasikan dirinya sebagai Cak Nur muda yang berani dan progresif? Jika bisa, apakah dalam pemilihan 2019 kemarin sudah mempraktekkan “sekularisasi-nya” Cak Nur? Atau kita masih memilih calon karena faktor dia Kiai? Tugas saya hanyalah bertanya dan memprovokasi, silahkan jawab sendiri.

Similar Posts