riba
Diambil dari inilah.mozaik

Majalahnabawi.com – Dalam menetapkan suatu hukum di dalam al-Quran, Allah menetapkannya secara berangsur-berangsur. Diantaranya adalah riba. Dalam pengharaman riba, Allah tidak langsung mengharamkan transaksi ini sekaligus.

Syekh Muhammad Ali ash-Shobuni dalam kitab Rowai al-Bayan fi Tafsir al-Ayat al-Ahkam Min al-Quran menerangkan beberapa tahapan pengharaman riba. Hal ini menunjukkan pada kita untuk mengetahui pentingnya rahasia penetapan syariat Islam di dalam mengobati penyakit masyarakat.
Terdapat empat tahapan di dalam proses pengharaman riba ini:

Periode Pertama: Turunnya Surat Ar–Rum (30) Ayat 39

وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرْبُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍۢ تُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ

Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Q.S. ar–Rum: 30 ayat 39)”

Ayat yang turun di Mekkah ini tidak ada isyarat yang menunjukkan pada keharaman riba, hanya saja ayat ini mengisyaratkan murkanya Allah pada transaksi riba. Sesungguhnya riba itu tidak ada pahala sekali di sisi Allah. Hal seperti ini dinamakan dengan peringatan larangan (موعطة سلبية).

Periode Kedua: Turunnya Surat an–Nisa (4) Ayat 160–161

فَبِظُلْمٍ مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُوا۟ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَـٰتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ كَثِيْرًا.  وَأَخْذِهِمُ الرِّبَى وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ

Artinya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba padahal sesunggunya mereka telah dilarang daripadanya.”

Ayat ini termasuk ayat madaniyah atau ayat yang turun di Madinah. Pada ayat ini, Allah mengisahkan sebuah pelajaran kepada kita tentang sejarah orang Yahudi yang telah diharamkan riba akan tetapi mereka melanggarnya sehingga mereka mendapat laknat dan murka Allah.

Syekh Muhammad Ali ash–Shobuni menerangkan bahwasanya larangan pada ayat ini berupa larangan secara isyarat, tidak secara tegas atau terang–terangan. Karena ayat ini adalah cerita kejahatan–kejahatan orang Yahudi dan tidak ada keterangan bahwasanya riba itu di haramkan pada orang–orang muslim.

Periode ketiga: Turunnya Surat Ali–Imran (3) Ayat 130:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟ ٱلرِّبَوٰٓا۟ أَضْعَـٰفًۭا مُّضَـٰعَفَةًۭ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Ayat ini termasuk ayat yang turun di Madinah (madaniyah). Pada ayat ini keharaman riba itu jelas, akan tetapi larangannya bersifat parsial, tidak universal. Karena pengharaman riba itu terjadi pada riba yang berlipat ganda dari hutang asalnya.

Periode Keempat: Turunnya Surat Al–Baqarah (2) Ayat 279.

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

Periode ini adalah tahapan terakhir pengharaman riba secara jelas (qothiy) yang mana al–Quran tidak membedakan antara riba yang sedikit atau banyak.

Dengan penjelasan ini, kita dapat mengetahui pentingnya persiapan sosial masyarakat sebagai objek pelaksanaan hukum Islam. Pada turunnya syariat pengharaman riba telah mencontohkan pada kita bahwa dalam berdakwah dan menegakaan hukum Islam kita perlu menimbang dan memperhatikan kesiapan masyarakat untuk menerima dan menjalankan hukum tersebut. Semua butuh proses. Bertahap dan pelan–pelan.
Wallahu alam. Sekian. Terima kasih.

 

By Alfin Haidar Ali

Mahasantri Ma'had Aly Nurul Jadid Paiton Probolinggo