Majalahnabawi.com – Ada pepatah yang mengatakan, bahwa “kesuksesan berawal dari mimpi”. Benar sekali, mimpi tertulis yang dimaksud di sini jelas bukan mimpi yang kita alami selagi tidur. Singkatnya sebelum sebuah kesuksesan dicapai, maka tentunya ada mimpi (harapan) yang kita tulis dan terus perjuangkan.

Mimpi yang akan diulas di sini adalah tentang bagaimana sebuah mimpi yang dialami saat kita tidur menjadi pertanda sebuah kebaikan/keburukan atau justru tanda sebuah kejadian akan terjadi di dunia nyata. Karena mimpi ini pasti dialami setiap orang dalam varian yang berbeda. Seperti kemunculan mimpi dikarenakan berkhayal sesuatu yang diidamkan, atau karena mengalami kebingungan, kesedihan dan ada pula yang di luar kendali-kendali itu. Namun, bagaimana jika yang kita temui di mimpi adalah Nabi Muhammad Saw, bukankah sesuatu yang anti-mainstream dan kemungkinan besar pertanda kebaikan?

Manusia Teladan Yang Telah Lama Tiada

Nabi Muhammad Saw telah meninggalkan muka bumi sejak tahun 11 H atau tepatnya 632 M. Jarak waktu yang terpaut sangat jauh dengan 2021 M, namun tidak menutup kemungkinan jika beliau hadir di mimpi umatnya yang hidup pada masa kini meski kemungkinannya sekitar 1:1000. Mari kita perhatikan hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam kitab Sahih al-Bukhari di bawah ini:

مَنْ رَآنِي فِي المَنَامِ فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَخَيَّلُ بِي، وَرُؤْيَا المُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

Barang siapa yang bertemu denganku dalam tidur maka ia telah melihatku, karena sungguh setan tidak bisa mengumpamakan aku. Mimpinya seorang mukmin merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian

Sebelum masuk ke bagian ta’bir mimpi, kita perlu mengetahui cara yang benar dalam memaknai hadis, khususnya hadis di atas. Apakah ia dimaknai secara hakiki atau majazi? Karena status hadis sama dengan al-Quran yaitu ada yang muhkam dan mutasyabih. Maka, untuk sampai ke makna mutasyabih hadis banyak tahapan dan dalil penunjang yang tentunya sebagai alat ijtihad bagi para ulama meski hasil pemikiran mereka berbeda satu sama lain.

Ijtihad Para Ulama Tentang Ta’bir

Beberapa kalangan ulama berbeda pendapat mengenai ta’bir mimpi, seperti ulama Ahlusunah dan Qadariyah. Qadariyah menyatakan bahwa tidak ada mimpi yang hakiki (menjadi nyata)/bisa dipercayai, maksudnya semua mimpi itu hanyalah bunga tidur saja tidak dapat dita’bir.

Namun, Ahlusunah menyatakan beberapa opsi terkait jawaban atas pertanyaan mengenai maksud hadis bertemu Nabi Saw tersebut. Pertama, bahwa terjemah kata “kau telah melihatku” itu adalah tasybih atau tamtsil sebagaimana diredaksikan dalam riwayat lain yaitu “فَكَأَنَّمَا رَآنِيْ فِي الْيَقْظَةِ”. Kedua, memang orang yang mengalami mimpi tersebut akan melihat Nabi, baik secara nyata ataupun sekedar ta’bir mimpi. Ketiga, mimpi tersebut khusus dialami oleh orang yang sezaman dengan Nabi Saw dalam keadaan iman namun belum sempat bertemu langsung. Keempat, apa yang dilihat orang tersebut adalah apa yang direfleksikan oleh dirinya (ini opsi paling mustahil). Kelima, Orang tersebut akan melihat dan bertemu Nabi pada hari kiamat dengan kelebihan khusus dibanding orang yang tidak pernah memimpikan Nabi. Keenam, Bahwa orang tersebut akan bertemu Nabi Saw di dunia secara hakiki.

Akan tetapi, justru pendapat keenam ini merupakan sesuatu yang sangat sulit dipahami dan masih dipertentangan sampai sekarang. Oleh karena itu, ketika kita mendengar orang yang mengklaim dirinya mimpi bertemu dengan Nabi Saw maka kita tidak dilarang jika mengambil sikap skeptis.

Syarat Orang Yang Bermimpi Nabi

Lalu, untuk menimbang dan menerima pengakuan mimpi tersebut, ada 2 syarat yang harus ada pada orang yang bermimpi, yaitu:

Orang yang bermimpi haruslah sesuai dengan kriteria orang shalih. Maka, ketika ada orang yang jarang shalat, pelaku maksiat, dan lain-lain menyatakan hal demikian kita tidak bisa mempercayainya langsung.

Kalaupun orang tersebut seorang alim ulama, maka yang harus diperhatikan adalah isi atau gambaran mimpi yang dialami seperti apa. Jika isi mimpinya berupa ungkapan seseorang yang diyakini Nabi itu malah berkaitan dengan kabar berubahnya syari’at agama, maka itu tidak masuk akal. Misal: “Wahai fulan, saya Muhammad memberitahumu bahwa shalat Subuh yang tadinya 2 rakaat mulai saat ini menjadi 4 rakaat”. Jika ditemukan isi mimpinya seperti ilustrasi di atas, maka jangan langsung dipercayai.

Lalu, mimpi bertemu Nabi Saw seperti apa yang kemungkinan diterima lalu dipercayai? Jawabannya adalah jika pemimpi adalah alim ulama atau orang shalih lalu isi mimpinya adalah Nabi Saw menyampaikan kabar baik bagi diri (pemimpi) nya, atau nasihat-nasihat kegamaan, dan lain-lain.

Akhirnya, mimpi bertemu Nabi Saw bukanlah suatu keharusan alih-alih mengklaim bahwa hal tersebut adalah bentuk verifikasi bahwa kita umat Nabi Saw. Karena, tidak semua orang dijamin akan bertemu Nabi lewat mimpi. Maka, jangan sampai karena sangat terobsesi dengan hal tersebut namun tak kunjung mengalaminya sampai mengada ngada tentang mimpi bertemu Nabi Saw.

Wallahu A’lam