KIAI ALI MUSTAFA YAQUB DI MATA GUS NADIRSYAH HOSEN; Catatan Singkat Webinar Haul ke-5
MajalahNabawi.com- Kemarin, 23 Maret 2021, Ma’had Darus-Sunnah mengadakan webinar peringatan haul Kiai Ali Mustafa Yaqub ke-5. Salah satu pembicaranya adalah Gus Nadirsyah Hosen. Selama 30 menit, Gus Nadir memaparkan kenangan dan refleksinya.
Kenangan Gus Nadir
Memutar kembali kenangan dulu saat ngaji langsung dengan Kiai Ali Mustafa Yaqub. Harus ngaji ke Kiai Ali karena diwajibkan oleh ayahandanya, Prof. Ibrahim Hosen (1917-2001). Meskipun tidak lama “mulazamah” ngaji dengan Kiai Ali, namun banyak kenangan dan inspirasi. Bagi Gus Nadir, setidaknya ada tiga hal yang terkesan dari sosok Kiai Ali Mustafa Yaqub (1952-2016).
Kesan-kesan Gus Nadir
Pertama, Kiai Ali Mustafa adalah tokoh kiai-akademisi yang semangat keilmuannya tidak selesai terbatas pada gelar akademiknya. Meskipun, Kiai Ali sudah menyandang gelar Guru Besar Madya (Profesor) dalam bidang ilmu hadis dari Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta, namun posisi ini tidak melenakannya untuk terus belajar.
Di tahun 2005, atas saran gurunya, Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou, Kiai Ali melanjutkan program doktoral di Universitas Nizamia, Hyderabad, India. Tepat tahun tahun 2008, studi doktoral tuntas dijalani. Dalam banyak kesempatan, Kiai Ali sering menyatakan andaikata masih ada jenjang pendidikan S4, maka beliau akan mengambilnya.
Kedua, Kiai Ali Mustafa Yaqub adalah salah satu alumni Timur Tengah yang pandai menuangkan pemikirannya dalam tulisan. Sejak masih di rantau, Kiai Ali aktif dan rutin menulis artikel untuk diterbitkan di Indonesia. Dalam penilaian Gus Nadir, tulisan Kiai Ali sangat mengalir dan isinya berbobot, kritis dan progresif. Menggunakan bahasa yang lugas dan jelas.
Permasalahan yang rumit dapat disederhanakan. Disajikan dengan diksi yang tepat dalam kalimat pendek. Karenanya, pembaca dapat mudah memahami uraian yang berat dan pelik. Hal ini tercemin dalam beberapa judul artikelnya, semisal “Haji Pengabdi Setan”, “Titik Temu NU-Wahabi”, “Setan Berkalung Surban”, atau “Islam is Not Only for Muslim”.
Ketiga, Kiai Ali meninggalkan “role model” institusi pendidikan yang fokus mengader ulama dalam bidang ilmu hadis dan hadis. Ma’had Darus-Sunnah adalah pengejawantahan kegelisahan Kiai Ali di akhir tahun 90-an, dimana kajian hadis di Indonesia masih kurang dikembangkan.
Padahal, di era Hadlaratussyaikh Hasyim Asya’ari (1871-1947), kajian hadis adalah bidang keilmuan yang telah mapan dikembangkan di Pesantren Tebuireng Jombang. Melalui Darus-Sunnah, kajian hadis dan ilmu hadis dikaji selama 4 tahun secara terstruktur dan komprehensif. Menyinergikan tradisi pesantren, semisal mengkhatamkan pembacaan al-Kutub al-Sittah, dengan tradisi akademisi kampus, semisal penulisan tugas akhir berupa takhrij hadis.
Dua Warisan Penting
Lebih lanjut, Gus Nadir menggaris bawahi dua hal penting dari warisan pemikiran Kiai Ali. Pertama, penjelasan yang jelas dan jernih Kiai Ali terkait relasi sunnah dan budaya. Tidak semua yang berasal dari Arab adalah sunnah, demikan juga, artikulasi Islam yang disandingkan dengan budaya setiap daerah bukan berarti bidah.
Karena itu, adalah wajar jika seorang muslim yang berpegang pada sunnah tetap bisa hidup di tengah budaya Amerika, Eropa, ataupun Australia. Islam telah bijak dan tegas memberikan panduannya. Dalam pengakuannya, Gus Nadir sering menggunakan penjelasan Kiai Ali ini ketika mengajar di Monash University.
Terakhir, Gus Nadir menyatakan bahwa disertasi Kiai Ali yang berjudul “al-Ma’ayir al-Halal wa al-Haram fi al-Ath’imah wa al-Asyribah wa al-Adawiyah wa al-Mustahdharat al-Tajmiliyyah ‘ala Dhau’ al-Kitab wa al-Sunnah” (Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut al-Qur’an dan Hadis) sangatlah penting untuk ditelaah kembali.
Tinjauan halal-haram dalam produk-produk industri adalah permasalahan yang sangat relevan. Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat muslim ramai membicarakan standar kehalalan vaksin Covid 19.
Lima belas tahun lalu, Kiai Ali telah merekomendasikan pentingnya sistem halal internasional. Dimana jaminan halal sebuah produk perlu diperhatikan secara global. Standar internasional ini dapat digunakan untuk mempermudah pegujian kehalalan.
Tentunya, masalah ini harus diselesaikan secara ilmiah dan objektif. Mempertimbangkan unsur maslahat dan mafsadahnya. Serta tetap perpijak pada al-Qur’an dan sunnah. Rekomendasi ini diajukan setelah Kiai Ali melakukan kajian lembaga sertifikasi halal di lima negara; Amerika, Malaysia, Jerman, Belanda, dan Indonesia.
Lantas tertarikah anda?