majalahnabawi.com – Buku yang berjudul Ngaji Toleransi ini dikarang oleh Ahmad Syarif Yahya. Buku ini penuh muatan isi contoh kasus dan solusi praktis yang ditawarkan oleh pengarang buku. Di mana penulis mengalami sendiri sikap penuh toleransi yang terjadi di daerahnya dan patut diaplikasikan secara luas di Indonesia tercinta ini.

Sedikit biografi pengarang buku yaitu beliau Ahmad Syarif Yahya, lahir di Kauman, Kaloran, Temanggung, pada 21 Juni 1983. Lahir di sebuah desa plural yang di dalamnya terdapat aneka macam rumah ibadah yang berdekatan seperti Wihara, Gereja dan Masjid di mana jama’ah dari masing-masing rumah ibadah hidup berdampingan guyub rukun.

Beliau merupakan putra keenam dari KH. M. Wasil dan Ny. Hj. Mubayanah dan merupakan santri Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang di bawah asuhan KH. Maimoen Zubair. Pengarang aktif sebagai penulis sejak masih berada di Pondok Pesantren dan sudah menerbitkan beberapa buku yaitu: Pengajaran Shalat (Penerbit Nuansa Cendekia: 2021), Kutukan Seorang Ibu (Nuansa Cendekia: 2013), Kamus Sejarah Islam (Penerbit Nuansa Cendekia: 2013), Kamus Pintar Agama Islam (Penerbit Nuansa Cendekia: 2014), Fikih Toleransi (Penerbit Aswaja Presindo: 2016). Pengarang sampai buku ini diterbitkan telah aktif sebagai pengajar di Pesantren Ridha Allah di Kauman, Kaloran.

Pengantar buku ini disampaikan oleh beliau Mudjahirin Thohir, di mana menurut beliau buku ini sangat mendukung untuk dibaca karena bukan hanya mengangkat masalah teori bagaimana kita harus bersikap toleran di Indonesia yang sangat majemuk ini, tetapi juga praktik yang diterapkan sebagai masyarakat Indonesia yang majemuk, tinggal berdampingan tetapi tidak saling sikut. Sehingga buku ini sangat melengkapi buku-buku mengenai toleransi yang lain ketika buku yang lain tersebut didominasi oleh teori bagaimana bersikap toleran.

Analisis Isi Buku

Dalam buku ini setidaknya memberikan dua gambaran sikap toleransi, yaitu toleransi kepada non-muslim dan toleransi terhadap muslim itu sendiri. Dalam menyikapi toleransi terhadap muslim, dibagi menjadi dua bagian yaitu terhadap muslim yang awam dan terhadap muslim yang berbeda pandangan.

Terdapat IX BAB dalam buku Ngaji Toleransi ini, BAB I membahas Toleransi Apa dan Bagaimana, BAB II membahas tentang Muslim Itu Toleran, BAB III membahas mengenai Muslim Indonesia Itu Ramah, BAB IV mengungkap Toleransi adalah Memahami dan Menghargai, BAB V berisi tentang Islam Itu Mudah, BAB IV tentang Muslim Itu Punya Batas, selanjutnya BAB VII tentang Sesama Muslim Itu Bersaudara, BAB VIII tentang Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, BAB IX sebagai bab terakhir menjelaskan tentang Islam Identik dengan Radikalisme dan Intoleransi?

Definisi Toleransi

Apa itu toleransi dan bagaimana itu toleransi? Sebagian dari manusia paham makna dari toleransi, yaitu sebuah sikap untuk menghargai pendirian yang bertentangan dengan pendirian sendiri. Ketika memasukkan makna toleransi ke dalam makna bahasa Arab maka akan berarti tasamuḥ yang berakar dari kata samḥan yang berarti mudah, arti mudah dalam hal ini adalah memberikan kebebasan seseorang untuk mengambil kepribadiannya sendiri tanpa ada paksaan, dalam hal ini seseorang boleh memilih agamanya sendiri, dan kita harus menghargai keputusannya dan penghargaan itu bukan berarti membenarkan.

Toleransi tidak dibenarkan apabila masuk ke dalam ranah teologi sebagaimana Surat al-Kafirūn, itu artinya apabila ada saudara muslim yang beramal secara teologi terdapat kesalahan, maka mutlak harus diberikan pemahaman dengan cara yang mudah. Toleransi hanya berlaku di dalam sikap kita bersosialisasi.

Porsi dalam bertoleransi hendaknya diseimbangkan sehingga konteks keberagamaan sebagai nilai-nilai fundamental dan keberagaman sebagai nilai yang timbul dalam masyarakat tidak terlalu condong ke salah satu bagian. Artinya dalam penerapan dalil naqli dan aqli tupoksinya seimbang.

Kita mengetahui kelompok intoleran tidak imbang dalam mengaplikasikan dalil naqli dan aqli-nya sehingga memaksakan penerapannya dengan perbedaan situasi masa dan tempatnya. Sedangkan kelompok liberalis lebih condong mengoptimalkan aqli di mana dalil naqli yang tidak mengadopsi pemikirannya akan dikesampingkan. Sehingga posisi yang  seharusnya diambil adalah di tengah (sikap toleransi) yaitu mengoptimalkan dalil naqli dan aqli. Posisi itu sejatinya harus dipupuk dengan ilmu yang mumpuni, yaitu ilmu bagaimana memahami dalil naqli dan aqli, oleh karena itu untuk memaksimalkan dalil naqli bisa kita mengambil pendapat ulama yang telah meng-extract dalil tersebut agar tidak mudah disalah tafsirkan, dan aqli yang ditaburi dengan ilmu yang senantiasa bermanfaat.

Muslim Itu Toleran

Kemudian, dalam bagian Muslim Itu Toleran, Ahmad Syarif Yahya mengangkat banyak kisah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya radhiallahu ’anhum serta para tabi’in. Bagian ini mengajak pembaca untuk meneladani Rasulullah Saw dan sahabatnya, yang mana sikap Rasulullah kepada non-muslim, pada budaya lokal, dan pada sesama muslim yang munafik di mana sifatnya sangat toleran, tidak mengutamakan kekerasan, dan berusaha untuk agar tidak menyakiti hati orang yang berbeda prinsip dengannya. Karena pada dasarnya Rasulullah Saw diutus dengan sikap yang lemah lembut “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu berlaku keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari kamu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah maaf bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka. Kemudian apabila kamu membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (Ali Imran [3]:159).

Jadi apabila ada orang yang sikapnya tidak lemah lembut tapi menuntut kembali kepada al-Quran dan Sunnah itu harus kita rangkul untuk menjadi perangai seperti Rasulullah Saw, sahabatnya, dan para tabi’in yang berdakwah dengan lembut dan esensinya tetap sama yaitu kembali kepada al-Quran dan Sunnah.

Menyoal muslim di Indonesia itu ramah, maka kita bisa melihat bagaimana masuknya Islam ke Indonesia. Ada beberapa langkah Islam mulai menyebar di Indonesia tetapi faktor permulaannya adalah melalui jalur perdagangan di mana aliansi pedagang dan raja di situ pasti sangat berpengaruh atas penyebaran Islam. Islam awal yang tersebar di Indonesia adalah Islam yang mudah lagi suci (al-hanafiyah al-samḥah) yaitu Islam yang tidak ditunggangi kepentingan politik, oleh sebab itu Islam mampu diterima oleh masyarakat.

Mengikuti Dakwah Walisongo

Bisa diambil ambil contoh bagaimana Walisongo berperan penting dalam penyebaran Islam substantif ini, yaitu di mana ketika Sunan Kudus melarang menyembelih Sapi untuk kurban, fungsinya adalah untuk menarik golongan Hindu agar dapat lebih mudah menerima Islam. Telah diketahui bahwa berkurban tidak wajib menggunakan sapi, inilah contoh Islam yang al-hanafiyah  al-samḥah.

Agar dapat berdakwah seperti Walisongo yang mengadopsi Islam substantif, maka harus bisa membedakan syari’at, budaya Arab, budaya Arab yang di-syariat-kan. Syari’at memiliki karakter universal yaitu dapat dengan mudah diterima khalayak banyak, sedangkan budaya memiliki karakter parsial di mana ketika diterapkan di suatu lokasi maka tidak bisa begitu saja diterapkan, bahkan tidak bisa diterapkan. Apabila budaya yang disyari’atkan maka karakter yang mulanya parsial maka menjadi universal, contohnya al-Quran yang berbahasa Arab, yang terbukti walaupun berbahasa sudah jelas budaya Arab tetapi tetap banyak orang Ajam (asing) mampu menghafal al-Quran.

Toleransi Menurut Penulis Buku

Menurut Ahmad Syarif Yahya, toleransi adalah memahami dan menghargai. Inti toleransi adalah bisa memahami dan menghargai pendirian ataupun prinsip orang lain. Dalam hal bersosial hendaknya saling memahami dan saling menghargai prinsip orang lain. Sebagai contoh adalah bagaimana sikap ketika ada seorang yang berlainan keyakinan dan tidak mau ikut memeriahkan hari kebesaran keyakinannya, maka di kondisi ini harus dimengerti bahwa keadaan keyakinan orang tersebut dan menghargai apabila mendapat penolakan ketika orang tersebut menolak untuk bergabung. Itulah yang dinamakan toleransi murni. Bukan sebaliknya, yang mana ketika ada hari perayaan Natal misalnya, dan seorang muslim berinisiatif untuk malah memeriahkan hari Natal tersebut di gereja yang malah memungkinkan keyakinannya sebagai muslim terganggu.

Solusi yang ditawarkan ketika terjadi sebuah perayaan hari raya keyakinan lain kemudian ada ajakan untuk mengikutinya maka kita harus melihat posisi kita di mana. Apabila memungkinkan untuk menolaknya maka usulkan untuk merayakannya ibadah perayaannya di tempat ibadahnya dan yang berlainan keyakinan untuk ikut membantu mempersiapkan hari besarnya di lain tempat selain tempat peribadatannya (dalam rangka peduli sosial). Apabila ketika menolak ajakan tersebut akan timbul sebuah ke-mudharat-an maka silahkan mengikutinya tapi dengan hati yang yakin bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan ikut-ikutannya hanya sekedar ikut tidak ikut ibadahnya.

Sikap toleransi yang di bangun bukan hanya antar pemeluk agama, tetapi juga intern muslim agar terjalin sebuah Ukhuwah Islamiyah. Bentuk toleransi sesama muslim antara lain adalah menyangkut mengenai akidah, ibadah dan muamalah.

Toleransi dalam Konsep Akidah

Dalam konsep akidah, masyarakat Indonesia yang majemuk terkadang dihadapkan dengan situasi sosial yang kadang mempengaruhi akidah Islamiyah. Biasanya antar muslim yang memiliki akidah berbeda condong kearah mengkafirkan golongan yang lain. Hal ini sungguh mencederai internal muslim.

Bahkan Rasulullah Saw tidak pernah menghakimi Abdullah bin Ubay pimpinan orang munafik di Madinah sebagai orang kafir, Rasulullah Saw tidak menghakiminya karena Abdulah bin Ubay telah ber-syahadat dan Rasulullah Saw tidak mengetahui isi hati Abdulllah bin Ubay, itu artinya manusia hanya bisa menghakimi seseorang secara zahir (tampak) bukan apa yang batin (tidak tampak).

Lalu apa yang membuat muslim garis keras tersebut mengkafirkan saudara se-muslimnya padahal slogan mereka kembali ke al-Quran dan Sunnah. Terhadap orang seperti ini hendaknya kita berikan pengertian yang lebih dengan cara yang lembut agar dakwahnya tidak membuat orang lain menghindar.

Toleransi dalam hal ibadah kadang terlihat ketika menemui sesama muslim yang awam di suatu daerah ataupun terhadap muslim yang baru mualaf. Mereka adalah orang-orang yang butuh pemahaman bukan paksaan. Karena Islam adalah agama yang mudah. Seperti Ahmad Syarif Yahya mencontohkan bagaimana Rasulullah Saw ketika sahabatnya selalu berbuat dosa, “Ya Rasulullah sebenarnya hamba ini selalu berbuat dosa dan sulit untuk meninggalkannya”. Maka jawaban Rasulullah Saw tidak mendakwahkannya secara bertele-tele melainkan hanya agar berjanji untuk tidak berbohong, dan akhirnya sahabat itupun tidak melakukan maksiat lagi karena mengingat bahwa sahabat tersebut takut apabila bertemu dengan Rasulullah Shalallahu‘alayhi Wassalam akan berbohong.

Toleransi dalam Bermuamalah

Kemudian toleransi dalam hal muamalah yang biasanya ditemui di daerah pengarang buku Ngaji Toleransi ini adalah mengenai jual beli Anjing dan kegunaannya untuk menunaikan zakat, ataupun sadranan. Pengarang buku demi menjaga toleransi mengambil pendapat Imam Hanafi di mana membolehkan jual beli Anjing dan uangnya digunakan untuk zakat dan lainnya. Hal tersebut karena pengarang buku tidak ingin memberatkan umat muslim di lingkungannya, dan memberikan pengertian bahwa Islam itu mudah.

Kemudian, walaupun toleransi diterapkan tetapi Islam itu punya batas dalam berlaku toleran. Batasan dalam bersikap toleran terhadap non-muslim harus dimunculkan, akan tetapi batasan-batasan yang dikehendaki harus sesuai dengan syari’at.

Hal yang menarik dalam buku ini adalah membahas lebih dalam mengenai toleransi antar sesama muslim. Inilah yang jamak ditemui di Indonesia. Ketika perbedaan pendapat hanya membuat sesama muslim saling serang, ini yang sangat ditakutkan, padahal hanya sebuah khilafiyah. Sebaiknya hal seperti ini disudahi saja karena sesama muslim adalah saudara, dan saudara hendaknya saling menolong dalam kebaikan dan mengingatkan dalam kemungkaran.

Buku ini memberikan solusi taktis yaitu dengan menghindari ayat mutasyabihat, menyudahi perselisihan yang menyangkut furu’iyah, belajar, mendahulukan kepentingan muslim daripada golongan, jauhi takfir dan tahkim.

Konsep Membangun Toleransi

Konsepsi yang dibangun untuk tercapainya toleransi adalah dengan mengaplikasikan amal ma’ruf nahi mungkar yang penerapannya tidak asal-asalan. Semua orang wajib beramal baik dan melarang yang buruk.

Ada tips bagaimana cara melarang agar tidak asal-asalan sehingga dapat diterima oleh golongan Islam garis keras  dan non-muslim agar mereka merasakan indahnya Islam. Pertama, yaitu tahap pengajaran yaitu bagaimana kita bertugas hanya menyampaikan sebuah kebenaran, hal ini dilakukan kepada orang yang awam dan belum tahu terhadap suatu hal tersebut.

Kedua, yaitu menasihati. Ini disampaikan kepada orang yang sudah mengetahui kemungkaran, dan hendaknya memberikan nasihat agar jangan di depan umum, itu adalah akhlak seorang muslim, karena menasihati di depan umum dapat mencemarkan nama baik orang yang dinasihati.

Ketiga, yaitu dengan cara menegur secara keras, ini bukan berarti mencaci akan tetapi ketika nasihat tidak mampu menahannya maka teguran secara keras ini hendaknya dilakukan.

Keempat, yaitu dengan mencegah secara paksa. Orang yang tidak memiliki wewenang tidak boleh melakukan hal ini karena dapat mengakibatkan mudharat berupa perlawanan. Para ulama mencontohkan cara ini dengan mengibaratkan seorang peminum khamr ketika teguran keras sudah tidak bisa diterima, maka bisa merebut botol minuman khamr dan memecahkannya. Cara ini agar membuat peminum khamr takut dan tidak mengulangi perbuatannya.

Terakhir, adalah menakuti dengan memukul. Hal ini tidak boleh dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan setingkat penguasa, atau yang mendapatkan wewenang dari penguasa. Karena hal tersebut bisa merusak dan berdampak besar terhadap keburukan.

Bagi masyarakat umum, hendaknya menjalankan tips yang pertama sampai ketiga karena inilah yang sesuai dengan adab bertoleransi agar mudah diambil oleh orang lain.

Stigma Radikalisme dan Intoleranisme

Namun, pada saat ini Islam diidentikan dengan stigma Radikalisme dan Intoleranisme. Mengenai radikalisme berbeda dengan terorisme karena radikal identik dengan ideologi dan terorisme adalah sebuah aksi.

Radikalisme muncul karena sifat fanatisme terhadap kelompok. Sama seperti supporter bola, geng motor, tawuran pelajar yang fanatik dengan kelompoknya, hanya saja dalam ranah agama menyangkut mengenai akidah. Perbedaan akidah menjadi sumber perpecahan apalagi berbuntut terhadap aksi takfiri sampai aksi terorisme. Perbedaan pemahaman fikih juga bisa menyebabkan sikap intoleransi hanya karena khilafiyah diantara para ulama. Padahal berbagai corak pendapat para ulama jadi lebih memudahkan umat dalam mengamalkan amalannya.

Hendaknya sikap toleransi terus dipupuk di dalam dada sebagaimana Rasulullah Saw, sahabatnya, serta para thabi’in mengamalkan sikap toleransi. Jadi inti dari penjelasan di atas adalah bagaimana bersikap terhadap sesama manusia baik terhadap sesama muslim maupun terhadap non-muslim. Karena seorang muslim yang baik itu dilihat dari akhlak-nya.

Orang yang tidak memahami Islam itu melihat kaum muslimin dilihat dari bagaimana akhlak­nya pula. Sehingga mereka semua tertarik terhadap Islam Substantif yang ber­-akhlakul karimah. Sebab inilah Islam mampu menjadi rahmatan lil ‘alamīn dan kembali ke masa keemasan Islam.

Kekurangan Buku

Kekurangan dalam buku ini terletak pada BAB V yang mencoba untuk menjelaskan toleransi Islam terhadap internal Islam sehingga judul kecil yang dibuat (Toleransi Internal). Dalam bab tersebut terjadi kerancuan karena pada sub-bab pertama yaitu Toleransi Akidah yang seharusnya membahas internal malah membahas Islam-Non Muslim.

Profil Buku

Judul Bukul: Ngaji Toleransi

Penulis: Ahmad Syarif Yahya

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Tahun Terbit: 2017

Cetakan: Pertama

Jumlah halama: 176 halaman

ISBN: 978-602-04-4770-4

By arviyan

ALIM-AMAL-AMAR