Tuntunan Menjajaki Tongkrongan Yang Baik
majalahnabawi.com – Aristoteles menyebutkan bahwa manusia adalah Zoon Politicon yang memiliki arti hewan politik atau bermasyarakat. Karena kelebihan akalnya dia memiliki kemampuan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Dia juga akan cenderung hidup berkelompok sama seperti hewan dan berinteraksi dengan manusia lainnya sehingga muncul keinginan untuk hidup berkelompok dan membentuk suatu komunitas atau kelompok tertentu.
Munculnya kelompok atau komunitas biasanya didasarkan atas kesamaan pemikiran mengenai suatu hal dan kebiasan. Sehingga sangat wajar apabila budaya nongkrong sangat menjamur di tengah masyarakat hingga saat ini.
Bahkan di tengah pandemi pun sangat sulit sekali bagi masyarakat untuk tidak melepaskan budaya nongkrong tersebut, khususnya anak muda karena memang fitrahnya manusia melakukan sosialisasi lebih dekat dan tanpa sekat dalam menjaga kehidupannya agar tetap harmonis. Lantas bagaimanakah Nabi menyikapi budaya nongkrong dan berteman tersebut?
Duduk di Pinggi Jalan
Sebagaimana dikutip dari “Bab Duduk di Pinggir Jalan” dalam kitab Shahih al-Bukhari, dikisahkan Nabi melewati sekelompok pemuda yang tengah asyik nongkrong dan bercengkrama di pinggir jalan. Lalu karena para pemuda tersebut nongkrong di pinggir jalan, Nabi pun menegur agar mereka menyingkir dan pindah untuk tidak duduk di pinggir jalan, karena membuat tidak nyaman orang-orang yang lewat. Akan tetapi para pemuda tersebut tidak mau meninggalkan tempat tersebut karena sudah asyik bercengrama di pinggir jalan. Lantas karena tidak mau pindah tempat, Nabi pun tidak melarang dan membiarkan mereka asyik bercengkrama dengan memberikan nasihat untuk menundukkan pandangan, menyingkirkan sesuatu yang berbahaya, menjawab salam, dan memerintahkan kebajikan dan melarangan kemungkaran agar orang yang lewat merasa nyaman dan tidak terganggu.
Dalam hadis yang lain, Nabi menuturkan mengenai tongkrongan atau perkumpulan yang baik;
قَالَ عَبْدُ اللهِ: نِعْمَ الْمَجْلِسُ مَجْلِسٌ يُنْشَرُ فِيهِ الْحِكْمَةُ وَتُرْجَى فِيْهِ الرَّحْمَةُ
Abdullah bin Mas’ud telah berkata: “Sebaik-baik suatu majelis adalah majelis yang dipenuhi hikmah serta diharapkan rahmat Allah turun“. (HR. al-Darimi)
Dari hadis tersebut, setidaknya Nabi memberi isyarat mengenai tongkrongan yang baik, yaitu perkumpulan yang di dalamnya ada hikmah baik berupa diskusi, transfer isi otak dan hal–hal lain yang bermanfaat. Perkumpulan yang tidak hanya penuh dengan senda gurau untuk mencari kebahagiaan tetapi juga membawa kita kepada hal-hal yang positif untuk selalu semangat mendekatkan diri kepada Allah melalui ayat-ayat kauniyyahnya.
Petunjuk Mencari Teman Yang Baik
Harus diketahui, Nabi tidak membatasi kita untuk berinteraksi kepada siapapun di dunia ini, namun setidaknya beliau memberikan beberapa tuntunan mengenai siapa teman yang pantas untuk dimasukkan dalam lingkaran kecil pertemanan kita. Allah pun juga menegaskan dalam firman-Nya surat Ali Imran ayat 118:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مِّنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.”
Sebagaimana dalam tafsir aL-Munir, kata “بطانة” berarti lapisan dalam pakaian dan bermaksud orang-orang yang terdekat seperti melekatnya al-bithanah pada tubuh. Meskipun ayat tersebut berkenaan mengenai larangan orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai orang terdekat dalam pemerintahan, Syekh Wahbah al-Zuhaili juga menuturkan larangan menjadikan orang yang mengikuti hawa nafsu sebagai orang terdekat dalam kehidupan. Karena biasanya manusia di samping memiliki banyak teman, mereka juga memiliki lingkaran teman-teman dekat yang tentunya mempengaruhi perilaku dan perbuatannya.
Mengenai hal tersebut, Nabi tidak heran bersabda mengenai hal tersebut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Riwayat dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Seorang laki-laki itu bergantung dengan agama teman gaulnya, maka hendaklah salah seorang melihat siapa yang menjadi teman gaulnya.” (HR. Abu Daud)
Dalam hadis lain juga menegaskan:
الْجَلِيسُ الصَّالِحُ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِنْ لَمْ يُصِبْكَ مِنْهُ شَيْءٌ أَصَابَكَ مِنْ رِيْحِهِ، وَمَثَلُ جَلِيْسْ السُّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْكِيْرِ إِنْ لَمْ يُصِبْكَ مِنْ سَوَادِهِ أَصَابَكَ مِنْ دُخَانِهِ
Permisalan kawan yang baik adalah seperti pemilik minyak wangi, jika kamu tidak mendapatkan sesuatu darinya, maka kamu mendapatkan bau harumnya. Permisalan kawan yang buruk adalah seperti tukang besi, jika kamu tidak mendapatkan hitamnya, maka paling tidak kamu akan mendapatkan asapnya.” (HR. Abu Daud)
Dengan Mendaras hadis tersebut, menggugah saya di tengah kantuknya halaqah Fajriyah mengingatkan akan nadzam yang selalu didendangkan semasa menjadi santri Madrasah Darus-sunnah yaitu
عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ # فَإِنَّ الْقَرِيْنَ بِالْمُقَارِنِ يَقْتَدِيْ
فَإِنْ كَانَ ذَا شَرٍّ فَجَنِّبْهُ سُرْعَةً # وَإِنْ كَانَ ذَا خَيْرٍ فَقَارِنْهُ تَهْتَدِيْ
“Tentang seseorang jangan tanya (siapa dia), tapi tanyalah siapa temannya, maka setiap teman akan mengikuti orang yang dia temani.”
“Jika engkau melihat sahabatnya berkarakter buruk, segera menjauhlah. Namun jika kau melihat sahabatnya baik, maka cepatlah bersahabat dengannya, niscaya engkau akan mendapat petunjuk.”
Oleh karena itu, bergaul boleh dengan siapa saja akan tetapi kita harus memfilter nilai-nilai yang masuk ke diri kita, lebih mudahnya diungkapkan dengan rumusan eksklusif kedalam inklusif keluar. Sehingga jika kita berada di suatu tongkrongan atau perkumpulan yang tidak memberikan feedback yang baik bagi intelektual dan spiritual, lebih baik kurang-kurangilah intensitas berkumpul dengan perkumpulan tersebut melalui mencari perkumpulan lain yang dapat menambah wawasan dan mendorong kita untuk lebih positif serta produktif dalam hidup ini.