MajalahNabawi.com- Untuk Kali kedua Ma’had Aly Nurul Jadid dimonitori oleh Badan Ekskutif Mahasantri (BEMs)-sebuah organisasi yang berada di Ma’had Aly Nurul Jadid- tidak menyia-nyiakan sebuah momentum. Momentum pertama ketika viralnya Macron, presiden Negara Prancis yang melakukan penghinaan terhadap nabi Muhammad saw.

Saat itu BEMs langsung mengadakan sebuah seminar nasional dengan topik tersebut. Momentum kedua ketika publik dibuat kagum dengan munculnya sosok kaum sarungan yang dianugerahi sebuah gelar Dr (HC). Beliau bernama Kiai Afifuddin Muhajir. Dengan sigap BEMs mengadakan sebuah seminar nasional untuk kali kedua yang bertajuk “Bedah pemikiran Dr. (HC) KH. Afifuddin Muhajir: Apresiasi dan Kritik.”

Ahli Fikih dari Timur

Beliau merupakan salah satu santri kinasih Allah Yarham KHR. As’Ad Syamsul Arifin-Pengasuh kedua Pondok Pesantren Sukorejo. Terbukti dengan perjalanan beliau semasa mondok di Pesantren Sukorejo selalu pasrah dengan titah sang guru sampai semua biaya pernikahan beliau ditanggung oleh kiai As’ad.

Konon ketika sang mediator berdirinya NU-julukan bagi kiai As’ad- dititah oleh gurunya mbah Kholil Bangkalan, untuk mengantarkan sebuah tongkat dan tasbih kepada mbah Hasyim -sang pendiri NU-. Ketika itu mbah Hasyim berwasiat kepada kiai As’ad agar mencetak seorang yang Faqih.

Tak ayal wasiat mbah Hasyim sekarang terwujud dengan lahirnya santri kiai As’ad sebagai kiai yang faqih. Bahkan Kiai Afif bukan hanya dijuluki sebagai faqih namun beliau mendapat julukan Faqih-Ushuli dari timur-sampai dijadikan sebuah buku yang di dalamnya terdapat beberapa promosi dari ulama’ kenamaan nusantara. Puncaknya, beliau menerima penganurehan gelar Dr (HC) bidang fiqh-ushul fiqh dari salah satu Universitas tersohor di Indonesia yaitu Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang.

Untuk acara seminar nasional yang diadakan BEMs kali ini berbeda dengan seminar sebelumnya. Di samping tema yang diusung berbeda, formasi penyaji pun yang didatangkan juga berbeda, namum tetap dengan tiga penyaji. Semula K. Muhammad Al-fayyadl, M.Phil-mendapatkan gelar Magister di bidang Filsafat dari salah satu Universitas di Perancis-termasuk salah satu penyaji dalam seminar.

Para Penyaji Seminar

Namun beliau udzur untuk hadir, akhirnya pihak panitia mendatangkan seorang penyaji yang tidak kalah dengan gus Fayyadl secara keilmuan, beliau bernama Ahmad Syahidah Ph.D, beliau menuntaskan gelar Doktornya bidang peradaban dan filsafat di USM Malaysia. Dua penyaji yang lain masih sama dengan seminar kali pertama, yaitu Dr. K. Moh. Imdad Robbani, M.Th.I dan Ust. Ahmad Husain Fahasbu, dimoderatori oleh mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid ia bernama Musta’in Romli.

Poin Seminar dari Ahmad Husain Fahasbu

Ada beberapa benang merah yang dapat diambil oleh moderator dalam seminar tersebut:

1. Penyaji pertama, beliau ust. Ahmad Husain Fahasbu alumnus magister Ma’had Aly Sukorejo konstretasi Fiqh-Ushul Fiqh, beliau seorang penulis di beberapa website keislaman diantaranya Alif.id dan NU online, dan ia termasuk santri yang sangat dekat dengan kiai Afif. Beliau membidik sebuah pembahasan biografi sosial-intelektual Kiai Afifuddin Muhajjir.

Poin pertama: Beliau menyampaikan bahwa awal mula kiai afif mondok di sukorejo sejak berusia 8 tahun, yang akhirnya sekarang menjadi wakil pengasuh Pondok Pesantren Sukorejo.

Poin kedua: Salah satu tim pendiri dalam mendirikan Ma’had Aly Sukorejo adalah kiai afif dan juga ada beberapa kiai kenamaan termasuk salah satu masyayikh Pondok Pesantren Nurul Jadid beliau bernama KH. Abdul Wahid Zaini.

Poin ketiga: Kiai afif termasuk salah satu kiai NU yang berkecimpung dalam forum Bahtsul Masail dan beliau menjabat sebagai salah satu dewan pimpinan ketua sidang dalam Bahtsul Masail NU.

Poin terakhir: Beliau menyampaikan pemikiran kiai afif terkait hubungan pancasila dengan syariat islam yang berkisar tiga hal: 1. Pancasila tidak bertentangan dengan syariat., 2. Pancasila selaras dengan syariat., 3. Pancasila adalah syariat itu sendiri.

Poin Seminar dari Ahmad Syahidah

Penyaji kedua, beliau bernama Ahmad Syahidah, Ph.D salah satu dosen Pasca Sarjana Universitas Nurul Jadid. Dia termasuk seorang penulis yang memiliki beberapa karangan buku, untuk buku mutakhir beliau bertajuk “Kehendak berkuasa dan kritik filsafat” (2021), beliau memilih menilik pemikiran kiai Afif dengan telaah filosofis & sosiologis.

Poin pertama: Beliau memulai dengan pembahasan yang cukup ringan kaitannya dengan cara mengkritik yang baik, bahwa cara mengkritik yang baik ialah dengan tulisan berupa makalah atau sebuah karangan buku bukan malah mengkritik dengan cara membabi buta (bahasa kasarnya kurang akhlaq).

Poin kedua: Beliau menyampaikan bahwa pancasila sudah final namun yang menjadi substansi dari pancasila adalah bagaimana butir-butir pancasila bisa teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Poin terakhir: Bahwa tujuan dari negara dan syariat ialah mewujudkan kesejahteraan khayalak umum (¬al-maslahah al-‘ammah). Sebagaimana kiai afif menyebutkan dalam bukunya bahwa Islam sesungguhnya tidak mendikotomi agama dan negara. Islam menganggap bahwa negara pada dasarnya merupakan representasi agama dalam rangka mengelola aspek kesejahteraan rakyat.

Poin Seminar dari Moh. Imdad Rabbani

Penyaji terakhir, beliau Dr. K. Moh. Imdad Robbani M.Th.I-lebih akrab disapa dengan nama Gus Amak-, beliau merupakan alumnus salah satu pondok salaf populer di jawa timur yaitu Pondok Pesantren Lirboyo, kemudian melanjutkan pendidikan s1 dan s2 di Gontor, lalu beliau menuntaskan sarjana doktor di Universitas Islam Negeri Ibnu Kholdun, Bogor. Beliau membidik kiai afif dari segi Kitab Kuning dan Tradisi Akademik Pesantren.

Poin pertama: Beliau me-muqoddima-i opininya dengan menyebut problem utama yang sedang terjadi yaitu problem ilmu. Betapa ilmu menjadi syarat utama dalam menyelesaikan sebuah problematika-probematika yang ada, ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Poin kedua: Bagaimana kita juga harus memiliki kemandirian dalam intelektual tanpa terkontamisi oleh sesuatu apapun.

Poin ketiga: Dalam mengkaji turast atau khazanah keislaman harus dijalani dengan serius, karena ketika turast dikaji secara serius, bisa menjadi sebuah alat untuk memecahkan problematika yang ada baik dalam ranah lokal atau bahkan global.

Poin terakhir: Kita tidak boleh memicingkan mata-bersikap isolatif-akan pemikiran-pemikiran barat, tepat kita menerima namun dengan cara adapsi bukan adopsi (tidak asal comot, perlu adanya saringan pemikiran).

Dan masing banyak beberapa apresiasi dan kritik terhadap pemikiran Kiai Afifuddin Muhajjir dari tiga narasumber diatas.

Kesimpulan

Al-hasil pesan yang sangat urgen sekali menurut al-haqir bahwa betapa sangat dibutuhkan sebuah pengetahuan yang luas guna memecahkan problematika-probematika yang ada dan selalu update, dan hal itu meniscayakan akan tuntutan selalu belajar dan terus belajar. al-Haqir merasa sangat kerdil sekali tatkala memoderatori acara seminar kemaren dengan dihimpit oleh dua orang doktor dan satu magister, semua memiliki keilmuan yang sangat komprehensif sekali. Semoga bisa mengikuti jejak-jejak beliau.

By Musta'in Romli

Mahasantri Ma'had Aly Nurul Jadid, Paiton, probolinggo