Fenomena Kekerasan Intelektual dalam Islam
Majalahnabawi.com – Dalam Islam, memiliki riwayat panjang mengenai kekerasan intelektual di dalamnya. Sudah sejak masa Khalifah Ali bin Abi Thalib peristiwa semacam itu terjadi.
Pertikaian antara sayyidina Ali dan Muawiyah adalah bukti historis ketika agama digunakan untuk kepentingan politik, yaitu atas nama al-Quran, Muawiyah menurunkan sayyidina Ali. Peristiwa tersebut disebut dengan tahkim (arbitrasi). Kekerasan hal tersebut masih berlangsung hingga sekarang.
Tentu saja dalam kasus kekerasan ini variabel yang terlibat tidak hanya pelaku kekerasan dan korban kekerasan saja, namun lebih jauh berbagai pihak pun terlibat khusunya struktur sosial dan budaya yang mendasarinya.
Posisi kaum intelektual sendiri dalam dialektikanya dengan dunia sosial, budaya dan politik dapat dikatakan tidak sama. Ada yang teguh dengan pandangannya sehingga bersikap kritis dengan kebijakan-kebiijakan pemerintah atau penguasa, namun ada pula yang mendukunya begitu saja. Disinilah kemudian sering terjadi persengkongkolan antara penguasa dan kaum intelektual.
Sejarah Kekerasan Intelektual
Sejarah kekerasan intelektual dapat dikatakan hampir tejadi di setiap agama. Ketika agama atau ideologi tertentu dijadikan sebagai mazhab negara dan penguasa mengesahkannya sebagai haluan resmi negara, maka kekerasan intelektual dapat dikatakan pasti terjadi.
Apa yang paling dikenal dalam sejarah agama-agama adalah peristiwa inkuisisi yang dilakukan oleh gereja di abad pertengahan dan awal modern. Tidak mengherankan apabila peristiwa inkuisisi ini secara luas untuk mengadili perkara-perkara bidah agama oleh Gereja Katolik Roma.
Dalam sejarah Islam sendiri, peristiwa inkuisisi ini dikenal dengan istilah mihnah. Peristiwa mihnah yang paling terkenal tentu saja mihnah Muktazilah. Peristiwa ini terjadi ketika Muktazilah menjadi mazhab resmi pada Dinasti Abbasiyah, yang mencapai puncaknya pada pemerintahan al-Ma`mun berkuasa.
Di luar peristiwa mihnah Muktazilah, sebenarnya peristiwa kekerasan intelektual telah terjadi sepanjang sejarah peradaban Islam. Apabila dicermati dari biografi para ulama, baik di era pertengahan, maupun modern bahkan kontemporer dapat dikatakan sebagian besar dari mereka pernah mengalami kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun psikis, disebabkan oleh aktivitas dan progresivitas intelektual mereka.
Sebagai contoh, seorang ulama hadis yang koleksinya dianggap sebagai salah satu dari enam kitab hadis yang otoritatif yaitu Imam al-Nasai (w. 303 H) beliau disiksa di Mesir oleh mereka yang dengki kepadanya, karena itu beliau pindah ke Palestina. Di Palestina, ia menolak memberikan pembenaran terhadap kebijjakan politik tertentu, termasuk menolak memuji Muawiyah, sehingga dipukuli, dan akhirnya meninggal karena luka-luka.
Ulama yang Terkena Imbas Mihnah
Abu Hayyan al-Tawhidi (w. 414 H) seorang teolog dan juga pemikir besar yang sangat produktif, pada akhir hayatnya beliau meninggal karena diasingkan dan hidup dalam keadaan kemiskinan. Sebelum ajal menjemputnya, ia diriwayatkan menyatakan, “Kalian tidak patut mendapatkan pemikiran saya!”. Dia membakar seluruh karya-karyanya karena dendam terhadap mereka yang menyiksa sepanjang hidupnya.
Ada pula kisah tentang seorang fakih terkenal dalam mazhab Syafiiyyah dan juga seorang hakim agung di Syiraz, beliau adalah al-Baidhawi (w. 685 H), yang dituduh menganut Syiah, dan mendapatkan sangat banyak penderitaan karena fitnah tersebut.
Ilmuwan besar dari mazhab Syafii, Imam al-Suyuthi (w. 911 H), yang dikenal sebagai ibn al-kutub (putra buku), bergulat melawan kedengkian dan permusuhan. Karena frustasi, akhirnya ia meninggalkan kehidupan publik dan hidup menyendiri dengan hanya ditemani buku-bukunya.
Kemudian, seorang fakih yang masyhur dalam mazhab Syafii, Imam al-Nawawi (w. 676 H), dengan berani melawan pajak kerajaan yang tinggi, sehingga ia dipecat dari posisi mengajarnya, lalu diusir dari Damaskus. Ia pergi ke Mesir tempat ia menjadi hakim kepala, namun ia dipecat kembali dan bahkan dipenjarakan. Ia akhirnya meninggal dalam keadaan sangat miskin dan kesepian di rumah ayahnya di Nawa, selatan Damaskus.
Eksekusi al-Hallaj
Perlu disebut pula eksekusi al-Hallaj, seorang tokoh sufi terkenal, yang merupakan satu penyiksaan paling brutal dalam catatan sejarah Islam. Setelah dikurung sekitar delapan tahun, sebelum dieksekusi ia dicambuk seribu kali, dipukuli, disayat-sayat, dimutilasi, kemudian disalibkan. Karena malaikat maut tak kunjung menjemput, kesesokan harinya lehernya dipenggal. Tubuh tanpa kepala itu disiram dengan minyak panas dan dibakar. Abu jenazahnya dibawa ke atas menara, ditabur-taburkan agar tebawa oleh angin dan jatuh hanyut ke aliran deras sungai Tigris. Kepala al-Hallaj tanpa tubuh di bawa ke Khurasan, sebuah kawasan pengikut ajaran al-Hallaj berada. Peristiwa ini dilakukan di arena publik, di gerbang Kota Baghdad yang selalu ramai sebagai pelintasan penduduk Bagdad ataupun para pendatang.
Begitulah fenomena-fenomena kekerasan intelektual yang terjadi dalam Islam. Kejadian yang terjadi pada masa lampau ini semoga membangkitkan kita untuk selalu bersemangat dalam meniti jalan untuk mencari ilmu, jika kita lihat dari fenomena-fenomena tersebut, betapa tingginya perhatian mereka pada ilmu dan menolak kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan ajaran agama Islam, sehingga merelakan segalanya bahkan nyawa yang menjadi taruhannya.