majalahnabawi.com – Sketsa Kultus Tradisi Pesantren; Benturan antara Intelektualitas Moralitas dan tentang sesuatu yang tak terlihat. Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren menyebutkan bahwa pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam Tradisional di mana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang guru.

De facto definisi ini dapat dibenarkan karena memang sebuah lembaga pendidikan tidak dapat disebut pesantren tanpa adanya asrama, siswa atau santri yang menetap di sana, dan seorang guru atau kiai yang mendidik. Namun de jure, definisi ini belumlah cukup mendekripsikan pesantren.

Pesantren tetaplah pesantren, ia tetap menjadi dunia lain yang tak sepenuhnya dapat dipahami. Ada banyak hal unik yang perlu dilihat secara radikal jika ingin memahami pesantren secara utuh. Untuk lebih meng-unik-kan kembali hal unik tersebut, mari kita sebut keunikan itu dengan Tradisi Kultus Pesantren.

Dalam kaca mata sejarah menurut Alvin Jhonson dalam bukunya Encyclopedia of the Social Science, tradisi kultus merupakan ritual peribadatan yang dilakukan secara pribadi (form of worship) atau kelompok sebagai wujud ketaatan terhadap norma dalam rangka tercapainya sebuah tujuan.

Baru pada pertengahan tahun 1900 M proses ritual ini disebut kultus oleh orang Amerika dan pada tahun 1900 M ke atas institusi kultus berkembang di benua Eropa dan Asia, seperti kelompok Krisna dan lain semacamnya.

Sedang dalam sudut pandang Islam, Azyumardi Azra berpandangan bahwa salah satu bentuk perilaku kultus adalah kecenderungan melakukan kebiasan ritual yang difokuskan pada dogma yang telah diajarkan oleh tokoh karismatik yang dianggap memiliki kekuatan suci.

Dalam kaca mata pesantren, pendapat-pendapat di atas dapat sedikit mewakili istilah tradisi kultus yang dikehendaki meski lagi-lagi tidak sepenuhnya dapat menggambarkan secara utuh.

Tradisi kultus pesantren tak ubahnya sebuah bangunan atau gedung di tengah kota, ia adalah bangunan yang berbeda dengan bangunan-bangunan lainnya.

Zubaidi Habibullah menyebutkan dalam bukunya Moralitas Pendidikan Pesantren bahwa pesantren memiliki ciri-ciri khusus yang barang kali tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain di luar pesantren. Kata kultus kita pilih untuk menggambarkan tradisi pesantren yang suci, sakral, sekaligus fundamental.

Ke-kultus-an tradisi pesantren itulah yang membuatnya berbeda dengan lembaga pendidikan lain di luar pesantren. Sisi ke-kultus-an itu biasa disebut oleh santri pesantren dengan istilah barokah atau berkah. Sisi inilah yang menembus batas-batas rasionalitas menuju irrasionalitas yang tidak masuk akal namun benar adanya secara fakta dan realita.

Ke-kultus-an barokah yang kemudian dapat melompat dan melambung jauh di luar kebiasaan yang berlaku pada umumnya. Tidak masuk akal, namun benar adanya dan terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Jika anda baca buku Guru-guruku orang Pesantren karya Saifuddin Zuhri, ada banyak kisah nyata akan anda temukan seputar sisi ke-kultus-san ini.

Secara umum menurut teori pendidikan yang rasional, seorang pelajar akan sukses di tengah-tengah masyarakat dan mapan kebutuhan ekonominya jika ia sukses dalam bidang akademiknya, bagus nilainya dan berhasil mendapat nilai yang memuaskan. Namun dalam tradisi pesantren, kemapanan intelektual tidak sepenuhnya menjamin keberhasilan seseorang.

Tidak sedikit santri yang berhasil dalam bidang akademiknya, tajam analisanya, mapan intelektualnya namun akhirnya kandas dan berakhir dengan kehidupan yang kurang memuaskan. Mengapa demikian?, karena dulu ketika mengeyam pendidikan di pesantren dia hanya terfokus pada pengembangan intelektual saja tanpa sedikitpun menyadari pentingnya barokah.

Akhirnya yang terasah hanya bagian kecil dalam dirinya yaitu nalar dan ketajaman intelektualnya, namun kering jiwa dan kepekaanya sebagai seorang santri. Padahal sebenarnya pendidikan jiwalah yang menjadi visi misi utama pendidikan pesantren. Moralitas pesantren, itulah bagian penting yang sebenarnya lebih penting diperhatikan.

Tanpa dipungkiri memang kadang atau bahkan sering kali terjadi benturan antara intelektualitas dan moralitas santri. Seorang santri kadang dihadapkan dengan dilema antara tetap berada dalam jalar intelektul atau moral.

Dalam kasus ilmu pengetahuan, benturan ini sudah biasa terjadi dan seorang guru akan sangat memaklumi bahkan bangga jika ada murid yang mengkritisi dan tidak satu paham dengan pendapat gurunya. Namun dalam masalah tertentu, adakalanya seorang santri menutup rapat-rapat dan mengeyampingkan kemapanan intelektualitas mereka dan mengedepankan moralitas.

Seorang santri tidak akan bertanya jika seorang guru memerintahkan apapun selama tidak dilarang oleh agama meski perintah itu tidak masuk akal, sebab kepatuhan berada di atas akal. Seorang guru memerintahkan murid melompat ke dalam sumur, tanpa berpikir panjang seorang murid langsung melompat tanpa berpikir bagaimana nanti ketika di dalam sumur.

Integratis dan kepatuhan murid terhadap guru itulah yang kemudian menjadi buah pemanis yang tidak terlihat secara kasat mata namun akan terasa nanti ketika sudah pulang ke tengah-tengah masyarakat. Ilmunya akan bermanfaat, menjadi orang yang berguna bagi sesama dan otomatis akan ditokohkan oleh masyarakat.

Embrio manis dari kepatuhan dan ketaatan akan dirasakan nanti ketika seorang santri sudah selesai dari pendidikan pesantren dan mengabdikan dirinya di tengah kehidupan masyarakat. Tentu perasaan berat hati, tidak nyaman, dan sebagainya yang menjurus pada ketidakpuasaan terhadap apapun yang menjadi perintah kiai akan timbul dalam diri seorang santri. Namun bukankah itu menjadi ujian sendiri bagi seorang murid sejauh mana kesabarannya dalam menuntut ilmu.

Sejauh mana kekuatan dan kesabaran seorang santri dalam menjalani proses pendidikan yang dalam perjalanannya kadang mengalami sesuatu yang kurang nyaman. Dalam hal ini kemudian dikenallah istilah tirakat, yaitu kesabaran pada kondisi yang kurang nyaman. Tirakat merupakan tahapan yang harus dilalui oleh seorang santri. Semacam sebuah keadaan di mana dia harus menahan atau setidaknya berpura-pura normal padalah kondisinya sedang tidak normal. Contoh sederhananya berpura-pura normal dan nyaman padahal ketika makan dengan lauk biasa saja bahkan kadang nasinya kurang matang. Pada kondisi itulah jiwa ke-santri-an akan teruji. Sekian, semoga kita sama-sama mendapatkan berkah dari pesantren dan guru-guru kita. Aamiiin.