Indonesia sebagai negara yang menganut paham Bhineka Tunggal Ika ternyata belum mampu menunjukkan ketangguhannya untuk meminimalisir sikap-sikap radikalisme dan ekstrimisme dari sebagian pemeluk agamanya. Dangkalnya pemahaman terhadap ajaran agama dan sikap fanatisme mengakibatkan rasa superioritas (lebih unggul) atas pemeluk agama lain. Radikalisme agama menyebabkan tindakkan penuh kekerasan disebabkan pemaknaan yang parsial terhadap konsep jihad dalam islam, konsekuensi logis dari interpretasi ini adalah penyandingan terorisme sebagai buah dari radikalisme. Hipotesa seperti ini adalah suatu yang wajar, mengingat berbagai aktifitas teror di berbagai belahan dunia senantiasa mengatasnamakan jihad yang dilakuan umat islam sebagai bentuk ketaatan pada firman Sang Pencipta.

Hal ini menimbulkan berbagai macam gejolak yang tanpa disadari tidak hanya berimplikasi pada menurunnya stabilitas nasional, tetapi bahkan menyulut respon negatif dari berbagai belahan dunia. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemahaman inklusif terhadap agama sehingga pemeluk agama menyadari bahwa pluralitas adalah sebuah keniscayaan.

Pengertian Radikalisme

Jika kita pandang dari segi etimologi, kata radikalisme berasal dari bahasa latin yaitu Radix yang berarti “akar”. Ia merupakan paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakkan besar untuk mencapai kemajuan. Jika kita kaitkan dalam perspektif ilmu sosial, radikalisme erat kaitannya dengan sikap atau posisi yang mendambakan perubahan terhadap status quo dengan jalan menghancurkan status quo secara total, dan menggantinya dengan sesuatu yang baru yang sama sekali berbeda.

Secara sederhananya Radikalisme merupakan pemikiran atau sikap yang ditandai oleh empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu : pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan orang kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.

Adapun realita yang dapat kita lihat dari dampak yang paling nyata terjadinya radikalisme adalah terbentuknya politisasi di dalam agama, dimana agama memang sangat sensitif sifatnya, paling mudah membakar fanatisme, menjadi kipas paling kencang untuk melakukan berbagai tindakan yang sangat keras, baik di dalam kehidupan sosial antar individu maupun kelompok, sehingga terbentuklah apa yang dinamakan kelompok Islam Radikal.

Berdasarkan klasifikasi, Islam Radikal terjadi menjadi dua makna, yaitu sebagai wacana dan aksi. Radikal dalam wacana diartikan dengan adanya pemikiran untuk mendirikan negara islam, kekhalifahan islam, tanpa menggunakan kekerasan terbuka. Sedangkan, dalam level aksi, radikal diartikan melakukan perubahan dengan aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Merujuk pada makna terakhir tersebut, kaum gerakan Islam Radikal memilih jalan kekerasan sebagai cara untuk mewujudkan tujuannya dalam mendirikan kekhalifahan Islam di Indonesia dan menentang hukum serta pemerintahan indonesia.

Pribumisasi Islam sebagai Solusi

Dalam Bangsa Indonesia, paham Radikalisme agama telah menjadi kekhawatiran bangsa karena praktik keberagamaan tersebut merapuhkan kebhinekaan dan kedamaian. Gerakan purifikasi itu mengingkari unsur lokalitas yang turut membentuk Islam Indonesia. Karenanya keberagamaan ini menafikan pluralisme sedemikian rupa; cenderung intoleransi, eksklusifisme, anti-keragaman dan pada titik kritis bisa melahirkan terorisme.

KH. Aqil Siraj menyatakan bahwa puritanisme yang akhirnya membibit radikalisme agama dan terorisme, terkait dengan persebaran keberagamaan yang ternyata berangkat dari sentimen anti-budaya. Mereka tidak melihat bahwa persenyawaan Islam Indonesia adalah metamorfosis yang tidak bisa terlepas dari khazanah lokalitas keindonesiaan.

Jauh sebelumnya, fenomena semacam ini telah menjadi perhatian Gus Dur. Beliau mencetuskan konsep “Pribumisasi Islam” sebagai cara pandang futuristik perihal Islam Indonesia ke depan agar tidak terperangkap dalam radikalisme dan terorisme. Pribumisasi Islam menampik atau menolak bahwa praktik keislaman tidak selalu identik dengan pengalaman Arab (Arabisme), justru Islam adaptif dengan lokalitas. Dalam awal penyebaran islam di Nusantara oleh Wali Songo mereka mengadaptasikan budaya lokal dengan corak keislaman sehingga islam mudah diterima tanpa melanggar kepada syariat islam.

Gagasan “Pribumisasi Islam” perlu dilestarikan sebagai praksis Islam Nusantara. Ia menjadi pendidikan kultural yang dilestarikan melalui masjid, mushalla di desa-desa, yang mana mewadahi kolektif masyarakat lokal, diwariskan dari generasi ke generasi, dikonservasi melalui praktik budaya lokal. Ia telah mengilhami praktik kultural Islam Nusantara yang menyelamatkan Indonesia ketika puritanisme telah menjadi hipotesis mula lahirnya gerakan islam radikal, ekstrimisme dan terorisme.

By Wildan Najmi

Mahasantri Darus-Sunnah, Koordinator Editor LPM Nabawi 2021-2022, Mahasiswa STAI Al-Karimiyah